Friday, August 11, 2017

KEMISKINAN NELAYAN : PERMASALAHAN DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

A.   Teori Kemiskinan
Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang.
Tahun 2002 angka tersebut sudah turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004..Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun? Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996 ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
UNTUK mengurangi penduduk miskin telah dilakukan berbagai program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah, swasta, dan LSM.   Beragam  program penanggulangan kemiskinan itu ada yang bersifat sektoral  oleh pemerintah, LSM  dengan program pengembangan masyarakat, sementara swasta lebih dikenal dengan program kemitraannya.    Sudah pasti setiap instansi atau lembaga memiliki kriteria  mengenai kemiskinan dan memiliki pola kerja/pola pengembangan masing-masing.

Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat  untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.
Sampai saat ini belum ada kriteria yang baku dalam mengidentifikasi penduduk miskin, pengertian dan kriteria kemiskinan begitu beragam sesuai badan/instansi/dinas yang menangani masalah  kemiskinan. Bagi dinas sosial misalnya, mereka yang miskin adalah: mereka yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka yang layak bagi kemanusiaan; mereka yang sudah mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan; mereka yang termasuk kelompok marginal yang berada di sekitar garis kemiskinan.  Disamping itu ukuran kemiskinan lainnya dari BKKBN yaitu berdasarkan kelompok prasejahtera dan sejahtera I.  Kedua kriteria kemiskinan itu adalah paling banyak digunakan dalam menentukan penduduk miskin.
Sampai saat ini masih sulit untuk membayangkan bahwa suatu daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun desa, memiliki program penanggulangan kemiskinan yang lebih baik daripada daerah yang lain. Misalnya, propinsi A memiliki program penang-gulangan kemiskinan yang jauh lebih baik dengan pencapaian target “X” persen ketimbang propinsi B. Demikian pula untuk pemerintahan daerah di bawahnya yaitu kabupaten dan desa. Sulit pula untuk dapat mengukur kinerja suatu pemerintah daerah dikaitkan dengan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Salah satu sebabnya adalah selain tidak/belum adanya kesamaan persepsi dari dinas-dinas di pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah pusat yang masih sangat besar. Selama ini sulit ditemukan publikasi dari pemerintah daerah untuk konsumsi masyarakat umum menyang-kut permasalahan kinerja pembangunan yang ada di daerah. Berbagai laporan tebal yang disusun instansi-instansi pemerintah daerah lebih ditujukan untuk memenuhi tuntutan “administratif” dari pusat sebagai “laporan kepada atasan”, dan bukan untuk masyarakat daerah sendiri.
Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.
Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Di sisi lain, masalah kemiskinan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian, garis kemiskinan Sajogyo misalnya mungkin saja tidak relevan diterapkan di daerah yang makanan pokok penduduknya bukan beras, atau kriteria mengenai luas dan kondisi lantai rumah yang dipakai BKKBN tentu tidak akan relevan diterapkan di daerah yang rumah penduduknya kebanyakan berbentuk rumah panggung atau perumahan nelayan yang terapung di pantai. Dengan kata lain keanekaragaman budaya masyarakat perlu dipertimbangkan dalam menyusun data kemiskinan suatu daerah.
Disadari bahwa pendekatan sektoral yang telah berlangsung selama ini kurang berhasil dalam menanggulangi kemiskinan sebagaimana yang pernah dijalankan peme-rintah karena yang dipakai sebagai kriteria adalah target-target sektoral. Sebagaimana dikemukakan di atas, masing-masing instansi dalam pemerintahan mempunyai kriteria penentuan orang miskin menurut “versi”nya masing-masing sehingga kadang-kadang terdapat perbedaan-perbedaan besar.

B.   Indikator Kemiskinan

Gregorius Sahdan [Artikel - Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan - Maret  2005 MENANGGULANGI KEMISKINAN DESA]  Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).

Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.

Indikator-indikator tersebut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;

1.     terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);

2.     terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi;  jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.

3.     terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas,  tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;

4.     terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
5.     terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
6.     terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
7.     lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
8.     memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
9.     lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
10.  lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
11.  besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.

Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah  kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan

 

C.   Permasalahan Kemiskinan Nelayan indonesia
Sumberdaya perikanan terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan, serta sumberdaya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah manajemen kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan diperkirakan 60% dari nelayan di desa rata-rata pendapatannya masih di bawah kebutuhan minimalnya (Dahuri, dkk, 1996:31).  Sangat ironis sekali dengan potensi yang begitu besar, saat ini masih banyak penduduk desa pantai yang memiliki taraf hidup tergolong rendah. Kemampuan nelayan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan.
Walaupun para nelayan mengambil peranan yang sangat signifikan dalam peningkatan produktifitas perikanan nasional, tetapi hal tersebut tidak berkorelasi terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Kehadiran program-program intervensi pembangunan, khususnya untuk masyarakat pesisir, seperti Co-fish dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), merupakan wujud pengakuan adanya kemiskinan di kalangan masyarakat nelayan (Kusnadi, 2006:11).
Secara umum, kemiskinan nelayan ini bersifat struktural dan merupakan residu dari pembangunan kelautan dan perikanan selama ini (Kusnadi, 2006:15). Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan tersebut sangat komplek dan akibat dari kemiskinan tersebut juga sangat komplek. Sering terjadi, akibat-akibat yang ditimbulkan  oleh kemiskinan berulang kembali menjadi sebab dari kelangsungan hidup kemiskinan, sehingga sangat sulit untuk memutuskan mata rantai kemiskinan tersebut. Karena itu, semakin mendalam pemahaman persoalan tentang  kemiskinan nelayan dan mengerti secara baik faktor-faktor yang melatarbelakanginya, semakin tidak mengerti cara harus memulai untuk mengatasi persoalan kemiskinan nelayan itu.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Nelayan.
Ketersediaaan Sumberdaya Ikan
Menurut Dirjen Perikanan (dalam Sugiarto dan Hadi, 2003:2) Indonesia merupakan negara kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan laut yang terdiri dari laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat yang luasnya 3,1 juta km2. Selain itu, Indonesia juga mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di Zona Ekonomi Ekslusive (ZEE) sekitar 2,7 juta km2, sehingga luas wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sumberdaya alam hayati dan non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta km2. dengan Panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau.
Lahirnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut. Dari aspek geografi inilah para ahli sejarah ekonomi memulai kajian nusantara, dimana peran laut oleh Houben  dikatakan “uncontested”. Peran perikanan sebagai salah satu industri di pesisir nampak masih sangat kecil (10% dari PDB Pertanian) dan berdasarkan data yang dilaporkan van der Eng sektor ini masih berada di bawah sektor lainnya dalam kurun waktu lebih dari satu abat terakhir. Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen Ekplorasi Laut dengan Keppres 136/1999, atau kini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Potensi sumberdaya alam yang besar dan daya serap tenaga kerja yang diperkirakan lebih dari 10 juta orang. menjadikan sektor ini penting. Pemerintah tahun 2006 ini bahkan menargetkan produksi perikanan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1% (5). Adapun Potensi ekonomi perikanan laut, Potensi Komoditas Produksi (mt) dan Nilai (US$ juta). dimana Perikanan laut mencapai 5.006 Mt atau $ 15.101, Budidaya laut 46.700mt atau $ 46.700, Budidaya payau 1.000 atau $ 10.000, Bioteknologi laut $ 4.000 Jumlah totalnya adalah  $ 75.801. Perikanan laut diperkirakan menyumbang 78% dari total produksi perikanan tahun 2002 akan menjadi tumpuan sektor ini. Kemiskinan yang berhadapan dengan kerapuhan lingkungan hidup, konflik dan dualisme ekonomi, serta tumpang tindihnya dan tidak berdayanya perangkat kebijakan, merupakan tantangan yang pada gilirannya akan berimbas pada keberkanjutan pertumbuhan sektor ini (Suadi:2006).

Keterbatasan Modal
Nelayan dalam memproduksi ikan memerlukan input produksi atau faktor produksi. Adapun wujud dari input produksi berupa modal (Uang), alat tangkap dan peralatan melaut lainnya seperti kapal/perahu. Kebanyakan nelayan di Indonesia modal menjadi persoalan yang sangat serius hal ini dikarenakan nelayan memiliki keterbatasan modal. Nelayan masih mengandalkan modal dari juragan sehingga hasil produksinya tidak bisa dinikmati secara total oleh nelayan yang  bersangkutan. Belum lagi diperparah oleh posisi nelayan yang 80% masih sebagai buruh tangkap sehingga menyebabkan hasil (pendapatan) nelayan menjadi rendah.

Rendahnya Tingkat Pendidikan
Satu aspek yang (juga) menjadi akar kemiskinan nelayan adalah rendahnya tingkat pendidikan. Ambil contoh nelayan Muncar, jumlah nelayan Muncar yang mencapai 10.707 nelayan hampir 60% berpendidikan dasar. Dengan demikian, keterbatasan tingkat pendidikan juga berdampak pada pemahaman proses penangkapan dan pemanfaatan hasil tangkapan. Banyak sekali nelayan yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan hasil produksi tangkapan seperti menggunakan bom ikan/dinamit, racun ikan atau putasium. Mereka (nelayan) tidak pernah memikirkan dampak di masa yang akan datang bahwa ikan yang di bom atau di putasium secara alamiah akan merusak ekosistem laut yang berakibat pada hilangnya bibit-bibit ikan.
Sedangkan dari aspek pasca penangkapan, nelayan tidak mempunyai inovasi produksi ikan sehingga berdampak pada nilai jual hasil penangkapan. Mereka lebih memilih menjual langsung kepada perusahaan atau pengepul ikan meskipun dengan nilai yang sangat rendah.

Posisi Tawar Yang Lemah
Terkait dengan mekanisme pemasaran, posisi tawar nelayan secara umum lemah. Untuk mendapatkan kebutuhan produksinya nelayan harus membeli dari penjual -yang terjadi dibanyak tempat- selalu dimonopoli oleh penjual atau pengusaha tertentu. Misalnya kebutuhan akan Es. Sebagai contoh, harga es balokan per baloknya adalah 6000, namun karena banyaknya nelayan yang membutuhkan es tersebut dan jauhnya perusahaan es balokan maka harga es naik menjadi 6500 rupiah. Artinya bahwa, mau tidak mau nelayan harus membeli dengan tambahan 500 rupiah.
Dari sisi penjualan hasil tangkapan ikan, harga ikan lebih banyak ditentukan oleh bakul. Seperti contoh kasus di pelabuhan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Posisi nelayan memang sangat dilematis, dimana nelayan (terpaksa) menjual ikannnya dengan harga yang di tentukan oleh perusahaan. Walaupun seolah-olah harga di tentukan berdasarkan penawaran atau melalui mekanisme lelang. Disisi lain, tidak adanya alternatif penjualan yang lain yang bisa menampung hasil tangkapan ikan. Di Muncar, mayoritas hasil tangkapan nelayannya adalah ikan sardenella atau ikan lemuru yaitu 85% dari total penangkapan ikan, dimana ikan lemuru mempunyai banyak kelemahan-kelemahan yaitu jumlah tangkapan yang sangat banyak dan daya tahan ikan di atas laut sangat singkat. Maka tidak ada pilihan bagi nelayan selain melepas harga ikan sesuai dengan apa yang di tawar oleh bakul atau perusahaan. Sebab nelayan takut kalau ikan hasil tangkapannya busuk dan tidak laku di jual. Pun demikian dengan apa yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Dengan nilai jual yang relatif rendah sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh nelayan sangat tinggi maka pendapatan bersih yang diperoleh nelayan akan sedikit. Sehingga take home pay yang diperoleh nelayan menjadi sangat kecil.

Pembagian Hasil Yang Tidak Adil
Menurut Kusnadi (2000:107), pendapatan nelayan disamping ditentukan oleh hasil ikan yang ditangkap juga ditentukan oleh pembagian hasil dengan juragan. Mengenai bagi hasil disesuaikan dengan tugas masing-masing Buruh (Wilson, 2006). Namun umumnya, yang terjadi dibanyak kasus adalah pembagian pendapatan yang tidak adil. Model pembagiannya adalah 50% untuk juragan dan 50% untuk nelayan tetapi pembagian ini setelah dipotong biaya produksi. Misalnya adalah apabila nilai penangkapannya adalah 1.000.000 rupiah, maka asumsikan seluruh biaya produksi yang meliputi, bahan bakar, konsumsi, biaya retribusi, biaya perawatan dan lain-lain sebesar 250.000 rupiah maka sisa sebesar 750.000 rupiah di bagi 2 antara juragan (50%) dengan nelayan (50%) dari keuntungan.
Apabila pola pembagian semacam ini masih berlaku maka sebenarnya nelayan mendapat beban ganda yaitu pendapatan yang lebih kecil dari yang semestinya nelayan dapatkan dan (hakikatnya) nelayan mengeluarkan biaya non teknis yaitu waktu dan fisik. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika nilai hasil tangkapan hanya 250.000 atau kurang dari nilai tersebut? Anehnya, kerugian produksi nelayan juga ikut menanggung.

Lemahnya Lembaga Kelautan
Keberadaan suatu kelembagaan sangat bermanfaat bagi nelayan agar dapat membantu pelaksanaan program pemerintah. Bentuk kelembagaan itu sendiri antara lain koperasi unit desa Mina bahari, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) dan beberapa kelompok nelayan lainnya.
Namun pada kenyataannya, Selama ini keberadaan kelembagaan nelayan belum sepenuhnya berjalan secara baik dan belum mampu menjadi wakil dari nelayan. Seperti KUD Mina Bahari, sebagai lembaga koperasi yang menyediakan berbagai fasilitas permodalan bagi nelayan ternyata belum bisa berbuat banyak.  Disamping karena keterbatsan modal yang dimiliki, KUD Mina Bahari hanya menjadi wadah bagi nelayan pemilik/juragan dan tidak menyentuh pada nelayan kecil/buruh. Begitu juga HSNI, ternyata tidak bisa memberian perlindungan kepada hak-hak nelayan sehingga nelayan berada posisi yang sangat dilematis.

D.    Upaya Penanggulangan Kemiskinan Nelayan
SOLUSI PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN
Penataan Wilayah Penangkapan
Dengan adanya aturan wilayah tangkap bagi nelayan diharapkan bagi nelayan di daerah Kabupaten/kota yang mempunyai batas 4 mil laut dan Propinsi 12 mil laut adalah solusi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi konflik antar nelayan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh sebab itu perlu adanya peningkatan lebih intens lagi bagi aparat hukum (polisi air dan Lanal) untuk menegakkan aturan pemanfaatan potensi laut berdasarkan Zona Ekonomi Ekslusive laut. Seperti contoh nelayan dari Lamongan dan Tuban menangkapl ikan di daerah selat Bali hal ini berakibat terjadinya konflik antara nelayan Bali dan Banyuwangi dengan nelayan Lamongan da Tuban. Disamping itu, sosialisasi zona yang terus menerus dari pemerintah terhadap nelayan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada nelayan supaya mampu mimahami akan pentingnya zona penangkapan ikan di suatu daerah.

Pemberian Bantuan Modal
Menurut Marwoto (2004) Pemberian bantuan modal merupakan langkah kongrit yang harus dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah bantuan unit penangkapan kepada nelayan yang merupakan langkah yang secara langsung akan dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Dengan adanya bantuan unit penangkapan maka pendapatan nelayan tidak lagi tergantung pada bagi hasil yang diperoleh dari pemilik unit penangkapan, tapi langsung dari besarnya nilai penjualan hasil tangkapan yang diperolehnya. Dalam pelaksanaannya, pemberian bantuan tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, bantuan tidak diberikan pada perseorangan, tapi pada kelompok nelayan buruh secara tanggung renteng. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan adanya suatu usaha bersama dimana masing-masing anggota menanggung jika ada kerugian dan sebaliknya memperoleh keuntungan yang sama bila ada hasil.  Karena merasa sama-sama memiliki maka diharapkan setiap nelayan akan bersungguh-sunguh dalam menjalankan usahanya.  Dalam pelaksanaannya dapat ditunjuk seseorang yang dianggap mampu untuk bertindak sebagai koordinator atau ketuanya.
Kedua, unit penangkapan yang yang diberikan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan nelayan. Dengan bantuan unit penangkapan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan nelayan maka sudah dapat dipastikan bahwa unit penangkapan tersebut sesuai untuk dioperasikan di perairan dimana nelayan biasa melakukan kegiatan penangkapan dan tidak perlu lagi adanya proses untuk penyesuaian karena dirasakan asing oleh nelayan.  Yang lebih penting, bahwa rasa memilikinya akan semakin kuat sehingga usaha penangkapan akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dalam hal ingin memasukkan suatu inovasi baru, dapat dilakukan melalui dialog dari hati ke hati dengan nelayan dan dilakukan secara terbuka.
Ketiga, pengadaan unit penangkapan yang akan diberikan tidak melalui pendekatan proyek. Dengan pendekatan melalui proyek dalam proses pengeadaannya maka dari sisi biaya akan mengalami pembengkakan dibandingkan nilai riel dari unit penangkapan yang diberikan kepada nelayan. Pembekanan biaya terutama terjadi karena biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka memenuhi persyaratan administrasi proyek, pajak yang harus dibayar dan keuntungan bagi pelaksana pekerjaan.  Selain itu, ada persepsi yang salah dari masyarakat yang menyangkut program pemnberian bantuan dari Pemerintah.  Pada umumnya masyarakat memahami bahwa yang disebut sebagai proyek bantuan dari Pemerintah diartikan sebagai sesuatu yang tidak harus kembali dan tidak harus berhasil.  Masyarakat menjadi semakin pintar dan paham karena pengalaman yang diperolehnya selama ini.
Akan lebih baik jika mekanisme pemberian bantuan dilakukan dengan melalui Bank, dimana nelayan calon penerima bantuan diarahkan untuk berhubungan dengan Bank dimana dana dari Pemerintah dititipkan.  Secara psikologis nelayan akan lebih taat pada saat berhubungan dengan Bank karena memahaminya bahwa unit penangkapan yang diperolehnya berasal dari kredit dan pasti harus dikembalikan.  Namun demikian, prosedur yang berbelit harus dihindarkan agar tidak ada keegganan dari nelayan untuk mengurus ke Bank.  Persyaratan adanya jaminan yang harus disediakan nelayan, jelas tidak akan pernah dapat dipenuhi oleh nelayan, dan oleh karenanya perlu ditiadakan.
Keempat, pemberian bantuan unit penangkapan harus disertai dengan pendampingan manajemen.  Pendampingan manajemen sangat diperlukan mengingat bahwa selama ini nelayan terbiasa bertindak sebagai pelaksana atau operator saja.  Segala kebutuhan yang harus dipersiapkan untuk dapat berangkat ke laut tidak pernah terpikirkan karena biasanya disediakan oleh pemilik unit penangkapan.  Untuk merubah sikap dan cara berpikir dari operator menjadi pengelola tidaklah mudah dan perlu waktu.  Oleh karenanya diperlukan pendampingan manajemen sehingga terjadi proses perubahan secara bertahap.
Kelima, besarnya dana bergulir yang sudah terkumpul bukan menjadi indikator keberhasilan.  Apabila besarnya dana bergulir yang terkumpul dijadikan tolok ukur keberhasilan maka akan mendorong petugas yang ada di lapangan untuk secara ketat menagih dana bergulir pada nelayan setiap kali menjual hasil tangkapan.  Petugas lapangan tidak mau dinilai gagal dalam melaksanakan tugasnya.  Di sisi lain, tujuan dari program yang dilaksanakan adalah untuk meningkatkan pendapatan nelayan, sehingga akan dinilai berhasil jika pendapatan nelayan meningkat sebagai akibat dari pemberian bantuan unit penangkapan.

Pemberdayaan Nelayan
Guna memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah pesisir –baca: nelayan-. Maka upaya-upaya yang dilakukan adalah (1) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi nelayan berwawasan agribisnis, (2) meningkatkan kemampuan dan kapasitas kelompok nelayan dalam menyediakan permodalan usaha, (3) meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan dan kelompok nelayan dalam pemupukan modal usaha (capital formation) serta (4) meningkatkan dan mengefektifkan organisasi nelayan dalam pengelolaan usaha.
Untuk memperkuat kelompok-kelompok yang telah dibentuk, maka dilakukan pemberdayaan wadah kelembagaan perikanan dalam menunjang agribisnis perikanan. Peningkatan kemampuan kelembagaan nelayan dapat dipandang sebagai salah satu cara yang dapat ditempuh guna memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah pesisir. Karena itu upaya ke arah peningkatan kemampuan wadah kelembagaan nelayan sangat perlu untuk dilakukan melalui beberapa kegiatan, yaitu (1) Memberi pengetahuan kepada nelayan tentang wadah kelembagaan yang cocok di sektor perikanan, (2) Meningkatkan kemampuan baik pengetahuan maupun ketrampilan nelayan menjaga dan menciptakan wadah kelembagaan perikanan dan (3) Memberi pengetahuan kepada nelayan tentang cara-cara pengusulan pemupukan modal usaha perikanan dan pengusulan wadah kelembagaan.

Perbaikan Sistem Bagi Hasil
Sistem bagi hasil adalah sistem yang mengatur pembagian tangkapan antara pemilik kapal/perahu atau orenga dengan pandhiga berdasarkan norma-norma yang berlaku. Persepsi yang digunakan adalah bahwa perahu sebagai satu unit produksi, sistem bagi hasil yang berlaku berbeda-beda  karena tingkat kebutuhan akan jumlah pandhiga  yang diperlukan, spesialisasi pekerjaan, dan biaya operasi dan pemeliharaan. Mengenai sistem bagi hasil di mana pendapatan dikurangi biaya produksi dibagi dua. Artinya, seluruh pendapatan dipotong biaya produksi secara keseluruhan dan sisanya dibagi 2 antara juragan dengan nelayan buruh (ABK), di mana juragan memperoleh 50% dan buruh nelayan memperoleh 50%. Hal ini akan sesuai dengan UU. No. 16 Tahun 1964, dimana pembagian hasil penangkapan dilakukan setelah seluruh pendapatan nelayan dikurangi biaya produksi. Berbeda dengan apa yang selama ini terjadi di lingkungan nelayan (yang hampir terjadi di Seluruh Indonesia) bahwa pembagian 50:50 sebelum dibagi biaya produksi.

Penguatan Lembaga Kelautan
Dalam tahap awal, kelembagaan yang perlu dikembangkan adalah Kelompok Nelayan Buruh, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan buruh untuk mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya.  Dengan jumlah nelayan buruh yang sangat banyak dan dominan dan tergabung dalam suatu organisasi akan dapat meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan pemilik sehingga tidak ada lagi hubungan kerjasama yang tidak saling menguntungkan.  Peran kelembagaan Kelompok Nelayan ini diharapkan seperti peran kelembagaan pekerja di sektor industri dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).  Bagi nelayan yang bekerja di perikanan industri (skala besar) penerapan ketentuan upah minimum regional sudah seharusnya juga diterapkan, apalagi waktu kerja dan resiko kerja bagi nelayan lebih berat dibandingkan dengan pekerja/buruh industri.  Sudah waktunya sistim Hubungan Kerja Industrial Pancasila juga diterapkan di bidang perikanan.
Di sisi lain, mengingat jumlahnya yang banyak, sudah sewajarnya jika Pemerintah mulai memberikan perhatian kepada Kelompok Nelayan Buruh ini.  Dapat dipastikan bahwa mereka juga memerlukan pembinaan, dan justru merekalah yang harus dibina agar dapat diperoleh peningkatan produksi perikanan yang berasal dari kegiatan penangkapan ikan. Meningkatnya produksi akan diikuti dengan peningkatan nilai jual hasil tangkapan dan pada gilirannya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan.
Dalam tahap berikutnya, Kelompok Nelayan Buruh secara bertahap dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi Kelompok Usaha Bersama pada saat memiliki kemampuan untuk melakukan investasi untuk mengadakan unit penangkapan secara bersama.  Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan mekanisme yang sama dengan adanya bantuan unit penangkapan yang berasal dari Pemerintah
Disamping itu penguatan lembaga permodalan juga sangat penting demi menunjang atau mempermudah proses produksi perikanan laut bagi nelayan. Maka dari itu KUD Mina sebagai lembaga keuangan di sektor kelautan perlu memberikan modal kepada nelayan khususnya nelayan buruh, sehingga dapat memperoleh hasil produksi lebih baik. Paling tidak dapat mengurangi ketergantungan pada juragan ikan.

Penulis:
Zaim Mukaffi

No comments:

Post a Comment