A.
Teori Kemiskinan
Indonesia adalah
sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya
melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Pada puncak
krisis ekonomi tahun 1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari
jumlah penduduk atau hampir 40 juta orang.
Tahun 2002 angka tersebut sudah
turun menjadi 18%, dan diharapkan menjadi 14% pada tahun 2004..Tetapi
siapa yang dapat menjamin bahwa grafik jumlah penduduk miskin akan terus turun?
Situasi terbaik terjadi antara tahun 1987-1996 ketika angka rata-rata
kemiskinan berada di bawah 20%, dan yang paling baik adalah pada tahun 1996
ketika angka kemiskinan hanya mencapai 11,3%.
BAPPENAS (2004)
mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar
masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan
hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan
maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini,
BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan
kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income
approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach)
dan pendekatan objective and subjective.
UNTUK
mengurangi penduduk miskin telah dilakukan berbagai program penanggulangan
kemiskinan oleh pemerintah, swasta, dan LSM. Beragam program penanggulangan kemiskinan itu ada yang bersifat
sektoral oleh pemerintah, LSM dengan program pengembangan
masyarakat, sementara swasta lebih dikenal dengan program
kemitraannya. Sudah pasti setiap instansi atau lembaga
memiliki kriteria mengenai kemiskinan dan memiliki pola kerja/pola
pengembangan masing-masing.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Kemiskinan terus
menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah
sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang
salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang
berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya
investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan,
kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus
urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat
memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan
masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety
life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi
keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan
biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani
desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Kemiskinan menjadi
alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia.
Secara menyeluruh kualitas manusia
Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di
negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development
Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development
Index (HDI) Indonesia
adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup
saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke
atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan
dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan
Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing
power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan
ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).
Pendek kata,
kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat
kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan
analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan
strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari
variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan
kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan
misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari
dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya
kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang
terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai
alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga
kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan
tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab
kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga
kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen
dan berkelanjutan.
Sampai saat ini belum ada kriteria yang baku dalam mengidentifikasi
penduduk miskin, pengertian dan kriteria kemiskinan begitu beragam sesuai
badan/instansi/dinas yang menangani masalah kemiskinan. Bagi dinas sosial
misalnya, mereka yang miskin adalah: mereka yang sama sekali tidak mempunyai
sumber mata pencaharian dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka yang
layak bagi kemanusiaan; mereka yang sudah mempunyai mata pencaharian tetapi
tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan; mereka yang
termasuk kelompok marginal yang berada di sekitar garis kemiskinan.
Disamping itu ukuran kemiskinan lainnya dari BKKBN yaitu berdasarkan kelompok
prasejahtera dan sejahtera I. Kedua kriteria kemiskinan itu adalah paling
banyak digunakan dalam menentukan penduduk miskin.
Sampai saat ini masih
sulit untuk membayangkan bahwa suatu daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun
desa, memiliki program penanggulangan kemiskinan yang lebih baik daripada
daerah yang lain. Misalnya, propinsi A memiliki program penang-gulangan
kemiskinan yang jauh lebih baik dengan pencapaian target “X” persen ketimbang
propinsi B. Demikian pula untuk pemerintahan daerah di bawahnya yaitu kabupaten
dan desa. Sulit pula untuk dapat mengukur kinerja suatu pemerintah daerah
dikaitkan dengan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan. Salah
satu sebabnya adalah selain tidak/belum adanya kesamaan persepsi dari
dinas-dinas di pemerintah daerah juga dipengaruhi oleh peranan pemerintah pusat
yang masih sangat besar. Selama ini sulit ditemukan publikasi dari pemerintah
daerah untuk konsumsi masyarakat umum menyang-kut permasalahan kinerja
pembangunan yang ada di daerah. Berbagai laporan tebal yang disusun
instansi-instansi pemerintah daerah lebih ditujukan untuk memenuhi tuntutan
“administratif” dari pusat sebagai “laporan kepada atasan”, dan bukan untuk
masyarakat daerah sendiri.
Selama tiga dekade,
upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar
seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja,
pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit,
pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya.
Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya
berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada
ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya
tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan
inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri.
Salah satu tujuan
otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Di sisi lain, masalah
kemiskinan yang dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia juga memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Dengan demikian, garis kemiskinan Sajogyo
misalnya mungkin saja tidak relevan diterapkan di daerah yang makanan pokok
penduduknya bukan beras, atau kriteria mengenai luas dan kondisi lantai rumah
yang dipakai BKKBN tentu tidak akan relevan diterapkan di daerah yang rumah
penduduknya kebanyakan berbentuk rumah panggung atau perumahan nelayan yang
terapung di pantai. Dengan kata lain keanekaragaman budaya masyarakat perlu
dipertimbangkan dalam menyusun data kemiskinan suatu daerah.
Disadari bahwa
pendekatan sektoral yang telah berlangsung selama ini kurang berhasil dalam
menanggulangi kemiskinan sebagaimana yang pernah dijalankan peme-rintah karena
yang dipakai sebagai kriteria adalah target-target sektoral. Sebagaimana
dikemukakan di atas, masing-masing instansi dalam pemerintahan mempunyai
kriteria penentuan orang miskin menurut “versi”nya masing-masing sehingga
kadang-kadang terdapat perbedaan-perbedaan besar.
B.
Indikator Kemiskinan
Gregorius Sahdan [Artikel - Ekonomi Rakyat dan Kemiskinan - Maret 2005 MENANGGULANGI KEMISKINAN DESA] Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Indikator-indikator tersebut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;
1. terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
2. terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin.
3. terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
4. terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap
aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi
pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu
rumahtangga;
5.
terbatasnya akses layanan perumahan dan
sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal
di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan
memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu
rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi
yang kurang memadai;
6.
terbatasnya akses terhadap air bersih.
Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya
penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
7. lemahnya
kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi
masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta
ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap
tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah
pertanian;
8.
memburuknya kondisi lingkungan hidup dan
sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah
pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam
sebagai sumber penghasilan;
9. lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa
dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban
10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah
pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada
lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
10. lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan
hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan
menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan
keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan
juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan
dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
11.
besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih
besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di perkotaan rata‑rata
mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di
perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator
utama kemiiskinan adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2)
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses
dan rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan
berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah;
(6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses
terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah;
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya
akses masyarakat terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman;
(11) lemahnya partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan
oleh besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk
yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik,
meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa
didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan
kemampuan memenuhi kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan
dimensi kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat
ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank
Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan
terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar,
sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias
sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem
yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan
antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6)
rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7)
budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya
alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik
(good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak
berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia
adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan
prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di
antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi,
rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk,
dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan
C.
Permasalahan Kemiskinan Nelayan indonesia
Sumberdaya
perikanan terdiri dari sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan, serta sumberdaya
buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Oleh karena
itu, pengelolaan sumberdaya perikanan mencakup penataan pemanfaatan sumberdaya
ikan, pengelolaan lingkungannya serta pengelolaan kegiatan manusia. Bahkan
dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan adalah manajemen kegiatan
manusia dalam memanfaatkan sumberdaya ikan.
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas yang
dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan diperkirakan 60% dari nelayan di
desa rata-rata pendapatannya masih di bawah kebutuhan minimalnya (Dahuri, dkk,
1996:31). Sangat ironis sekali dengan
potensi yang begitu besar, saat ini masih banyak penduduk desa pantai yang
memiliki taraf hidup tergolong rendah. Kemampuan nelayan untuk memenuhi
kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat
nelayan, diantara beberapa kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling
penting adalah pangan.
Walaupun
para nelayan mengambil peranan yang sangat signifikan dalam peningkatan
produktifitas perikanan nasional, tetapi hal tersebut tidak berkorelasi
terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Kehadiran program-program intervensi
pembangunan, khususnya untuk masyarakat pesisir, seperti Co-fish dan Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP), merupakan wujud pengakuan adanya kemiskinan di
kalangan masyarakat nelayan (Kusnadi, 2006:11).
Secara
umum, kemiskinan nelayan ini bersifat struktural dan merupakan residu dari
pembangunan kelautan dan perikanan selama ini (Kusnadi, 2006:15). Faktor-faktor
yang menyebabkan kemiskinan nelayan tersebut sangat komplek dan akibat dari
kemiskinan tersebut juga sangat komplek. Sering terjadi, akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh kemiskinan berulang
kembali menjadi sebab dari kelangsungan hidup kemiskinan, sehingga sangat sulit
untuk memutuskan mata rantai kemiskinan tersebut. Karena itu, semakin mendalam
pemahaman persoalan tentang kemiskinan
nelayan dan mengerti secara baik faktor-faktor yang melatarbelakanginya,
semakin tidak mengerti cara harus memulai untuk mengatasi persoalan kemiskinan
nelayan itu.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan
Nelayan.
Ketersediaaan Sumberdaya Ikan
Menurut
Dirjen Perikanan (dalam Sugiarto dan Hadi, 2003:2) Indonesia merupakan negara
kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya berupa perairan laut yang terdiri dari
laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat yang luasnya 3,1 juta km2. Selain
itu, Indonesia juga mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di Zona
Ekonomi Ekslusive (ZEE) sekitar 2,7 juta km2, sehingga luas wilayah laut yang
dapat dimanfaatkan sumberdaya alam hayati dan non hayati di perairan yang
luasnya sekitar 5,8 juta km2. dengan Panjang garis pantai lebih dari 81.000 km
dan jumlah pulau lebih dari 18.000 pulau.
Lahirnya
Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI),
secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut. Dari aspek geografi
inilah para ahli sejarah ekonomi memulai kajian nusantara, dimana peran laut
oleh Houben dikatakan “uncontested”.
Peran perikanan sebagai salah satu industri di pesisir nampak masih sangat
kecil (10% dari PDB Pertanian) dan berdasarkan data yang dilaporkan van der Eng
sektor ini masih berada di bawah sektor lainnya dalam kurun waktu lebih dari
satu abat terakhir. Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian
lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen
Ekplorasi Laut dengan Keppres 136/1999, atau kini Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP).
Potensi
sumberdaya alam yang besar dan daya serap tenaga kerja yang diperkirakan lebih
dari 10 juta orang. menjadikan sektor ini penting. Pemerintah tahun 2006 ini
bahkan menargetkan produksi perikanan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa
US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7
juta orang, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1%
(5). Adapun Potensi ekonomi perikanan laut, Potensi Komoditas Produksi (mt) dan
Nilai (US$ juta). dimana Perikanan laut mencapai 5.006 Mt atau $ 15.101,
Budidaya laut 46.700mt atau $ 46.700, Budidaya payau 1.000 atau $ 10.000,
Bioteknologi laut $ 4.000 Jumlah totalnya adalah $ 75.801. Perikanan laut diperkirakan menyumbang
78% dari total produksi perikanan tahun 2002 akan menjadi tumpuan sektor ini.
Kemiskinan yang berhadapan dengan kerapuhan lingkungan hidup, konflik dan
dualisme ekonomi, serta tumpang tindihnya dan tidak berdayanya perangkat
kebijakan, merupakan tantangan yang pada gilirannya akan berimbas pada
keberkanjutan pertumbuhan sektor ini (Suadi:2006).
Keterbatasan Modal
Nelayan
dalam memproduksi ikan memerlukan input produksi atau faktor produksi. Adapun
wujud dari input produksi berupa modal (Uang), alat tangkap dan peralatan
melaut lainnya seperti kapal/perahu. Kebanyakan nelayan di Indonesia modal menjadi persoalan
yang sangat serius hal ini dikarenakan nelayan memiliki keterbatasan modal.
Nelayan masih mengandalkan modal dari juragan sehingga hasil produksinya tidak
bisa dinikmati secara total oleh nelayan yang
bersangkutan. Belum lagi diperparah oleh posisi nelayan yang 80% masih
sebagai buruh tangkap sehingga menyebabkan hasil (pendapatan) nelayan menjadi
rendah.
Rendahnya Tingkat Pendidikan
Satu
aspek yang (juga) menjadi akar kemiskinan nelayan adalah rendahnya tingkat
pendidikan. Ambil contoh nelayan Muncar, jumlah nelayan Muncar yang mencapai
10.707 nelayan hampir 60% berpendidikan dasar. Dengan demikian, keterbatasan
tingkat pendidikan juga berdampak pada pemahaman proses penangkapan dan
pemanfaatan hasil tangkapan. Banyak sekali nelayan yang mengambil jalan pintas
untuk mendapatkan hasil produksi tangkapan seperti menggunakan bom
ikan/dinamit, racun ikan atau putasium. Mereka (nelayan) tidak pernah
memikirkan dampak di masa yang akan datang bahwa ikan yang di bom atau di
putasium secara alamiah akan merusak ekosistem laut yang berakibat pada
hilangnya bibit-bibit ikan.
Sedangkan
dari aspek pasca penangkapan, nelayan tidak mempunyai inovasi produksi ikan
sehingga berdampak pada nilai jual hasil penangkapan. Mereka lebih memilih
menjual langsung kepada perusahaan atau pengepul ikan meskipun dengan nilai
yang sangat rendah.
Posisi Tawar Yang Lemah
Terkait
dengan mekanisme pemasaran, posisi tawar nelayan secara umum lemah. Untuk
mendapatkan kebutuhan produksinya nelayan harus membeli dari penjual -yang
terjadi dibanyak tempat- selalu dimonopoli oleh penjual atau pengusaha
tertentu. Misalnya kebutuhan akan Es. Sebagai contoh, harga es balokan per baloknya
adalah 6000, namun karena banyaknya nelayan yang membutuhkan es tersebut dan
jauhnya perusahaan es balokan maka harga es naik menjadi 6500 rupiah. Artinya
bahwa, mau tidak mau nelayan harus membeli dengan tambahan 500 rupiah.
Dari
sisi penjualan hasil tangkapan ikan, harga ikan lebih banyak ditentukan oleh
bakul. Seperti contoh kasus di pelabuhan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Posisi
nelayan memang sangat dilematis, dimana nelayan (terpaksa) menjual ikannnya
dengan harga yang di tentukan oleh perusahaan. Walaupun seolah-olah harga di
tentukan berdasarkan penawaran atau melalui mekanisme lelang. Disisi lain,
tidak adanya alternatif penjualan yang lain yang bisa menampung hasil tangkapan
ikan. Di Muncar, mayoritas hasil tangkapan nelayannya adalah ikan sardenella
atau ikan lemuru yaitu 85% dari total penangkapan ikan, dimana ikan lemuru
mempunyai banyak kelemahan-kelemahan yaitu jumlah tangkapan yang sangat banyak
dan daya tahan ikan di atas laut sangat singkat. Maka tidak ada pilihan bagi
nelayan selain melepas harga ikan sesuai dengan apa yang di tawar oleh bakul
atau perusahaan. Sebab nelayan takut kalau ikan hasil tangkapannya busuk dan
tidak laku di jual. Pun demikian dengan apa yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Dengan
nilai jual yang relatif rendah sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan oleh
nelayan sangat tinggi maka pendapatan bersih yang diperoleh nelayan akan
sedikit. Sehingga take home pay yang diperoleh nelayan menjadi sangat kecil.
Pembagian Hasil Yang Tidak Adil
Menurut
Kusnadi (2000:107), pendapatan nelayan disamping ditentukan oleh hasil ikan
yang ditangkap juga ditentukan oleh pembagian hasil dengan juragan. Mengenai
bagi hasil disesuaikan dengan tugas masing-masing Buruh (Wilson, 2006). Namun umumnya, yang terjadi
dibanyak kasus adalah pembagian pendapatan yang tidak adil. Model pembagiannya
adalah 50% untuk juragan dan 50% untuk nelayan tetapi pembagian ini setelah
dipotong biaya produksi. Misalnya adalah apabila nilai penangkapannya adalah
1.000.000 rupiah, maka asumsikan seluruh biaya produksi yang meliputi, bahan
bakar, konsumsi, biaya retribusi, biaya perawatan dan lain-lain sebesar 250.000
rupiah maka sisa sebesar 750.000 rupiah di bagi 2 antara juragan (50%) dengan
nelayan (50%) dari keuntungan.
Apabila
pola pembagian semacam ini masih berlaku maka sebenarnya nelayan mendapat beban
ganda yaitu pendapatan yang lebih kecil dari yang semestinya nelayan dapatkan
dan (hakikatnya) nelayan mengeluarkan biaya non teknis yaitu waktu dan fisik.
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika nilai hasil tangkapan hanya
250.000 atau kurang dari nilai tersebut? Anehnya, kerugian produksi nelayan
juga ikut menanggung.
Lemahnya Lembaga Kelautan
Keberadaan
suatu kelembagaan sangat bermanfaat bagi nelayan agar dapat membantu
pelaksanaan program pemerintah. Bentuk kelembagaan itu sendiri antara lain
koperasi unit desa Mina bahari, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) dan
beberapa kelompok nelayan lainnya.
Namun
pada kenyataannya, Selama ini keberadaan kelembagaan nelayan belum sepenuhnya
berjalan secara baik dan belum mampu menjadi wakil dari nelayan. Seperti KUD
Mina Bahari, sebagai lembaga koperasi yang menyediakan berbagai fasilitas
permodalan bagi nelayan ternyata belum bisa berbuat banyak. Disamping karena keterbatsan modal yang dimiliki,
KUD Mina Bahari hanya menjadi wadah bagi nelayan pemilik/juragan dan tidak
menyentuh pada nelayan kecil/buruh. Begitu juga HSNI, ternyata tidak bisa
memberian perlindungan kepada hak-hak nelayan sehingga nelayan berada posisi
yang sangat dilematis.
D.
Upaya Penanggulangan Kemiskinan Nelayan
SOLUSI PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN
Penataan Wilayah Penangkapan
Dengan
adanya aturan wilayah tangkap bagi nelayan diharapkan bagi nelayan di daerah
Kabupaten/kota yang mempunyai batas 4 mil laut dan Propinsi 12 mil laut adalah
solusi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi konflik antar nelayan
satu wilayah dengan wilayah lainnya. Oleh sebab itu perlu adanya peningkatan
lebih intens lagi bagi aparat hukum (polisi air dan Lanal) untuk menegakkan
aturan pemanfaatan potensi laut berdasarkan Zona Ekonomi Ekslusive laut.
Seperti contoh nelayan dari Lamongan dan Tuban menangkapl ikan di daerah selat
Bali hal ini berakibat terjadinya konflik antara nelayan Bali
dan Banyuwangi dengan nelayan Lamongan da Tuban. Disamping itu, sosialisasi
zona yang terus menerus dari pemerintah terhadap nelayan dapat memberikan
pemahaman yang lebih baik kepada nelayan supaya mampu mimahami akan pentingnya
zona penangkapan ikan di suatu daerah.
Pemberian Bantuan Modal
Menurut
Marwoto (2004) Pemberian bantuan modal merupakan langkah kongrit yang harus
dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah bantuan unit penangkapan kepada
nelayan yang merupakan langkah yang secara langsung akan dapat meningkatkan
pendapatan nelayan. Dengan adanya bantuan unit penangkapan maka pendapatan
nelayan tidak lagi tergantung pada bagi hasil yang diperoleh dari pemilik unit
penangkapan, tapi langsung dari besarnya nilai penjualan hasil tangkapan yang
diperolehnya. Dalam pelaksanaannya, pemberian bantuan tersebut harus
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, bantuan
tidak diberikan pada perseorangan, tapi pada kelompok nelayan buruh secara
tanggung renteng. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan adanya suatu usaha
bersama dimana masing-masing anggota menanggung jika ada kerugian dan
sebaliknya memperoleh keuntungan yang sama bila ada hasil. Karena merasa sama-sama memiliki maka
diharapkan setiap nelayan akan bersungguh-sunguh dalam menjalankan usahanya. Dalam pelaksanaannya dapat ditunjuk seseorang
yang dianggap mampu untuk bertindak sebagai koordinator atau ketuanya.
Kedua, unit
penangkapan yang yang diberikan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan
nelayan. Dengan bantuan unit penangkapan yang sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan nelayan maka sudah dapat dipastikan bahwa unit penangkapan tersebut
sesuai untuk dioperasikan di perairan dimana nelayan biasa melakukan kegiatan
penangkapan dan tidak perlu lagi adanya proses untuk penyesuaian karena
dirasakan asing oleh nelayan. Yang lebih
penting, bahwa rasa memilikinya akan semakin kuat sehingga usaha penangkapan
akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dalam hal ingin memasukkan suatu
inovasi baru, dapat dilakukan melalui dialog dari hati ke hati dengan nelayan
dan dilakukan secara terbuka.
Ketiga,
pengadaan unit penangkapan yang akan diberikan tidak melalui pendekatan proyek.
Dengan pendekatan melalui proyek dalam proses pengeadaannya maka dari sisi
biaya akan mengalami pembengkakan dibandingkan nilai riel dari unit penangkapan
yang diberikan kepada nelayan. Pembekanan biaya terutama terjadi karena
biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka memenuhi persyaratan
administrasi proyek, pajak yang harus dibayar dan keuntungan bagi pelaksana
pekerjaan. Selain itu, ada persepsi yang
salah dari masyarakat yang menyangkut program pemnberian bantuan dari
Pemerintah. Pada umumnya masyarakat
memahami bahwa yang disebut sebagai proyek bantuan dari Pemerintah diartikan
sebagai sesuatu yang tidak harus kembali dan tidak harus berhasil. Masyarakat menjadi semakin pintar dan paham
karena pengalaman yang diperolehnya selama ini.
Akan
lebih baik jika mekanisme pemberian bantuan dilakukan dengan melalui Bank,
dimana nelayan calon penerima bantuan diarahkan untuk berhubungan dengan Bank
dimana dana dari Pemerintah dititipkan.
Secara psikologis nelayan akan lebih taat pada saat berhubungan dengan
Bank karena memahaminya bahwa unit penangkapan yang diperolehnya berasal dari
kredit dan pasti harus dikembalikan.
Namun demikian, prosedur yang berbelit harus dihindarkan agar tidak ada
keegganan dari nelayan untuk mengurus ke Bank.
Persyaratan adanya jaminan yang harus disediakan nelayan, jelas tidak
akan pernah dapat dipenuhi oleh nelayan, dan oleh karenanya perlu ditiadakan.
Keempat, pemberian
bantuan unit penangkapan harus disertai dengan pendampingan manajemen. Pendampingan manajemen sangat diperlukan
mengingat bahwa selama ini nelayan terbiasa bertindak sebagai pelaksana atau
operator saja. Segala kebutuhan yang
harus dipersiapkan untuk dapat berangkat ke laut tidak pernah terpikirkan
karena biasanya disediakan oleh pemilik unit penangkapan. Untuk merubah sikap dan cara berpikir dari
operator menjadi pengelola tidaklah mudah dan perlu waktu. Oleh karenanya diperlukan pendampingan
manajemen sehingga terjadi proses perubahan secara bertahap.
Kelima, besarnya
dana bergulir yang sudah terkumpul bukan menjadi indikator keberhasilan. Apabila besarnya dana bergulir yang terkumpul
dijadikan tolok ukur keberhasilan maka akan mendorong petugas yang ada di
lapangan untuk secara ketat menagih dana bergulir pada nelayan setiap kali
menjual hasil tangkapan. Petugas
lapangan tidak mau dinilai gagal dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, tujuan dari program yang
dilaksanakan adalah untuk meningkatkan pendapatan nelayan, sehingga akan
dinilai berhasil jika pendapatan nelayan meningkat sebagai akibat dari
pemberian bantuan unit penangkapan.
Pemberdayaan Nelayan
Guna
memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat
di wilayah pesisir –baca: nelayan-. Maka upaya-upaya yang dilakukan adalah (1)
meningkatkan kemampuan manajemen organisasi nelayan berwawasan agribisnis, (2)
meningkatkan kemampuan dan kapasitas kelompok nelayan dalam menyediakan
permodalan usaha, (3) meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan dan kelompok
nelayan dalam pemupukan modal usaha (capital formation) serta (4) meningkatkan
dan mengefektifkan organisasi nelayan dalam pengelolaan usaha.
Untuk
memperkuat kelompok-kelompok yang telah dibentuk, maka dilakukan pemberdayaan
wadah kelembagaan perikanan dalam menunjang agribisnis perikanan. Peningkatan
kemampuan kelembagaan nelayan dapat dipandang sebagai salah satu cara yang
dapat ditempuh guna memberdayakan dan mensinergikan seluruh potensi yang
dimiliki oleh masyarakat di wilayah pesisir. Karena itu upaya ke arah
peningkatan kemampuan wadah kelembagaan nelayan sangat perlu untuk dilakukan
melalui beberapa kegiatan, yaitu (1) Memberi pengetahuan kepada nelayan tentang
wadah kelembagaan yang cocok di sektor perikanan, (2) Meningkatkan kemampuan
baik pengetahuan maupun ketrampilan nelayan menjaga dan menciptakan wadah
kelembagaan perikanan dan (3) Memberi pengetahuan kepada nelayan tentang
cara-cara pengusulan pemupukan modal usaha perikanan dan pengusulan wadah
kelembagaan.
Perbaikan Sistem Bagi Hasil
Sistem
bagi hasil adalah sistem yang mengatur pembagian tangkapan antara pemilik
kapal/perahu atau orenga dengan pandhiga berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Persepsi yang digunakan adalah bahwa perahu sebagai satu unit produksi, sistem bagi
hasil yang berlaku berbeda-beda karena
tingkat kebutuhan akan jumlah pandhiga
yang diperlukan, spesialisasi pekerjaan, dan biaya operasi dan
pemeliharaan. Mengenai sistem bagi hasil di mana pendapatan dikurangi biaya
produksi dibagi dua. Artinya, seluruh pendapatan dipotong biaya produksi secara
keseluruhan dan sisanya dibagi 2 antara juragan dengan nelayan buruh (ABK), di
mana juragan memperoleh 50% dan buruh nelayan memperoleh 50%. Hal ini akan
sesuai dengan UU. No. 16 Tahun 1964, dimana pembagian hasil penangkapan
dilakukan setelah seluruh pendapatan nelayan dikurangi biaya produksi. Berbeda
dengan apa yang selama ini terjadi di lingkungan nelayan (yang hampir terjadi
di Seluruh Indonesia)
bahwa pembagian 50:50 sebelum dibagi biaya produksi.
Penguatan Lembaga Kelautan
Dalam
tahap awal, kelembagaan yang perlu dikembangkan adalah Kelompok Nelayan Buruh,
yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan buruh untuk mengkonsolidasikan
dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan
jumlah nelayan buruh yang sangat banyak dan dominan dan tergabung dalam suatu
organisasi akan dapat meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan pemilik
sehingga tidak ada lagi hubungan kerjasama yang tidak saling
menguntungkan. Peran kelembagaan
Kelompok Nelayan ini diharapkan seperti peran kelembagaan pekerja di sektor
industri dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Bagi nelayan yang bekerja di perikanan
industri (skala besar) penerapan ketentuan upah minimum regional sudah
seharusnya juga diterapkan, apalagi waktu kerja dan resiko kerja bagi nelayan
lebih berat dibandingkan dengan pekerja/buruh industri. Sudah waktunya sistim Hubungan Kerja
Industrial Pancasila juga diterapkan di bidang perikanan.
Di
sisi lain, mengingat jumlahnya yang banyak, sudah sewajarnya jika Pemerintah
mulai memberikan perhatian kepada Kelompok Nelayan Buruh ini. Dapat dipastikan bahwa mereka juga memerlukan
pembinaan, dan justru merekalah yang harus dibina agar dapat diperoleh
peningkatan produksi perikanan yang berasal dari kegiatan penangkapan ikan.
Meningkatnya produksi akan diikuti dengan peningkatan nilai jual hasil
tangkapan dan pada gilirannya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan
nelayan.
Dalam
tahap berikutnya, Kelompok Nelayan Buruh secara bertahap dapat dikembangkan
lebih lanjut menjadi Kelompok Usaha Bersama pada saat memiliki kemampuan untuk
melakukan investasi untuk mengadakan unit penangkapan secara bersama. Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan
mekanisme yang sama dengan adanya bantuan unit penangkapan yang berasal dari
Pemerintah
Disamping itu penguatan lembaga permodalan
juga sangat penting demi menunjang atau mempermudah proses produksi perikanan
laut bagi nelayan. Maka dari itu KUD Mina sebagai lembaga keuangan di sektor
kelautan perlu memberikan modal kepada nelayan khususnya nelayan buruh,
sehingga dapat memperoleh hasil produksi lebih baik. Paling tidak dapat
mengurangi ketergantungan pada juragan ikan.
Penulis:
Zaim Mukaffi
No comments:
Post a Comment