Para
pendiri bangsa sejak awal telah menyadari bahwa Indonesia sebagai kolektifitas
politik saat ini belum memiliki modal yang cukupuntuk melaksanakan
pembangunan ekonomi, sehingga pemikiran
ini ditampung dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 2 yang menyatakan bahwa
:
“Cabang-cabang yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara”. Secara eksplisit ayat ini menyatakan bahwa negara akan
mengambil peran dalam kegiatan ekonomi selama substansi Pasal 33 UUD 1945 ayat
2 tersebut masih ada dalam konstitusi, maka selama itu pula keterlibatan
pemerintah (termasuk Badan Usaha Milik Negara atau BUMN) dalam perekonomian
Indonesia masih tetap ada. (Subiyantoro,2004:547)
BUMN
merupakan salah satu alat kebijakn pemerintah dalam mengatur kehidupan
perekonomian suatu Negara. Intervensi pemeerintah dalam perekonomian melalui
kepemilikan BUMN disebabkan oleh kegagalan mekanisme pasaruntu mencapai alokasi
sumber daya secara optimal karena adanya monopoli dan eksternalitas, dan
penyediaan barang public(public goods), yang pelaksanaanya hanya bisa dilakukan
oleh Negara (Soeharto, 1996:6).
Selain
itu BUMN dilahirkan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian diharapkan
mampu memberikan kontribusi positip terhadap pemerintah dalam bentuk deviden,
pajak dan menciptakan kesempatan kerja. Oleh karena itu, pemerintah sangat
berkepentingan terhadap terwujudnya kesehatan BUMN yang baik , walaupun dalam
kenyataannya banyak BUMN yang merugi. Penyebab utama kerugian dibanyak BUMN
antara lain karena pengelolahan yang tidak professional, tidak berdasarkan
prinsip ekonomi perusahaan, serta tidak transparan. Padahal dalam era
globalisasi dan pasar bebas, peningkatan daya saing memaksa manajemen BUMN
untuk melakukan kebijakn strategis dalam rangka menciptakan efesiensi
perusahaan. Upaya-upaya yang dilakukan diantaranya melalui restrukturisasi usah
pengurangan jumlah karyawan, system pengendalian manajemen, dan beberapa
kebijakan strategis lainnya. Salah satu alternative untuk menciptakan efesiensi
dan menumbuhkan daya saing perusahaan adalah dengan melakuakn penjualan
sebagian kepemilikan atau pengalihan
kendali kepada phak swasta melalui program privatisasi.
Restrukturisasi
dan Privatisasi BUMN
1.1.
Restrukturisasi
BUMN
Restrukturisasi
adalah upaya untuk meningkatkan posisi kompetitif perusahaan BUMN melalui
perjalanan fokus bisnis, perbaikan skala usaha dan penciptaan core
competence. Dengan demikian restrukturisasi merupakan upaya untuk
meningkatkan kesehatan perusahaan dan mengembangkan kinerja perusahaan untuk
mendapatkan laba.
Selama
ini kinerja dan kondisi BUMN Indonesia masih buruk, sehingga memerlukan
perbaikan maupun penyehatan. BUMN masih harus terus diberdayakan sehingga akan
memberikan manfaat yang maksimal bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Sebenarnya tujuan BUMN untuk lebih diberdayakan adalah:
a.
Untuk lebih
mengoptimalkan aset negara yang dikuasai untuk mencapai kemakmuran rakyat yang
sebesar-besarnya, melalui konsep yang telah dicetuskan yaitu restrukturisasi
dan privatisasi dala arti yang seluas-luasnya.
b.
Untuk
meningkatkan perannya sebagai pendukung perekonomian nasional yang dapat
memberikan kontribusi yang besar terhadap APBN, baik dalam bentuk pajak maupun
deviden.
c.
Agar mampu berperan
sebagai sarana dan prasarana untuk membangun sumber daya manusia Indonesia,
yang berjiwa kepemimpinan untuk membawa dunia usaha nasional menuju
keberhasilan.
d.
Sebagai
kekuatan penyeimbang kekuatan ekonomi, melalui peranannya dalam melakukan
berbagai aliansi baik dalam tingkat nasional maupn tingkat global, termasuk
menciptakan kemitraan dengan pengusaha kecil, pengusaha menengah maupun
koperasi.
1.1.1.
Peranan
Restrukturisasi
Restrukturisasi dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan
kemungkinan keberhasilan privatisasi BUMN. Langkah restrukturisasi ini
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan BUMN dalam rangka menarik minat calon
pembeli agar tertarik untuk membeli dan menguasai saham perusahaan tersebut.
Apabila kinerja perusahaan-perusahaan itu membaik dengan restrukturisasi maka
diharapkan proses privatisasi sejumlah BUMN dapat berjalan dengan lancar dan
dapat mencapai target yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
1.1.2.
Langkah-langkah
Restrukturisasi
Langkah-langkah untuk melakukan restrukturisasi yang ditempuh oleh
pemerintah dilakukan dengan berbagai cara, yaitu antara lain dengan menciptakan
sistem baku yang biasa berlaku didunia korporasi, yang mencakup pennyehatan
posisi manajemen perusahaan melalui peningkataan profesionalisme baik dijajaran
direksi maupun komisaris serta menyerahkan kegiatan pengelolaan perusahaan
seluas-luasnya kepada pihak manajemen dengan mengurangi sampai sekecil mungkin
keterlibatan birokrasi pemerintah dalam perusahaan.
Disamping memperkuat posisi manajemen, upaya pemerintah untuk menstrukturisasi
BUMN juga ditempuh melalui konsolidasi usaha, merger dan apabila terpaksa maka
pemerintah akan melakukan likuidasi BUMN yang tidak munkin dapat diselamatkan
lagi. Selain itu program restrukturisasi juga dilakukan dengan berbagai upaya,
seperti peningkatan kinerja keuangan, pengurangan birokrasi dan campur tangan
pemerintah, pemberian wewenang yang lebih luas kepada pihak manajemen untuk
mengelola perusahaan, memotong jalur KKN yang banyak menggrogoti BUMN dan
melakukan refokus terhadap BUMN yang sejenis. Upaya yang termasuk didalamnya
adalah dengan mengganti beberapa direksi yang tidak capable ataupun
dewan komisaris yang ex officio. Dengan masuknya orang-orang baru maka
diharapkan dapat membawa angin baru sehingga akan dapat meningkatkan kinerja
BUMN sebagai perusahaan yang kompetitif. Langkah-langkah restrukturisasi
tersebut diusahakan untu dapat mengarah pada privatisasi perusahaan-perusahaan
BUMN.
Sesuai dengan masterplan reformasi BUMN, pemerintah telah mengambil
langkah-langkah restrukturisasi yang ditempatkan dalam 3 kategori :
a.
Langkah-langkah
pemerintah untuk memperbaiki dunia usaha
b.
Langkah-langkah
pemerintah dalam mengatur hubungan antara BUMN dan pemerintah
c.
Langkah-langkah
diantara persero tersebut.
1.1.3.
Tidakan-tindakan
Pemerintah Merestrukturisasi BUMN
Kebijakan pemerintah dalam resktrukturisasi BUMN di dorong oleh
factor internal dan eksternal.faktor internal adalah kondisi organisasi dan
kinerja BUMN itu sendiri dan kondisi keuangan Negara yang tidak
menggembirakan.edangkan factor eksternal yang menjadi pendorong restrukturisasi
BUMN adalah pendirian dan aktivitas organisasi bisnis internasional serta
regional yang menetapkan prinsip-prinsip pasar bebas dalam bisnis global.
Secara praktis tujuan restrukturisasi BUMN adalah untuk meningkatkan
kinerja BUMN sebagai pelaku ekonomi dalam menghadapi kompitisi dalam era
globalisasi yang bercirikan mekanisme pasar bebas.khusus privatisasi BUMN
memiliki tujuan praktis yang lain yaitu pemasukan dana segar dari investor
(masyarakat) dalam upaya untuk memperbaiki kinerja BUMN tersebut.
Dalam buku (Ery riyana
hardjapamekas, Dirut PT timah media Indonesia tanggal 24 agustus 1998,hal 6): Program
privatisasi sebagai salah satu bentuk restrukturisasi BUMN merupakan saran
pemerintah untuk mencapai tujuan seperti berikut
a.
Mengurangi
beban keuangan Negara dalam bentuk penambahan penyertaan modal pemerintah
maupun subsidi.
b.
Menghimpun dana
dari penjualan saham BUMN dan menggunakan hasilnya baik untuk mengurangi utang
luar negeri pemerintah yang berbunga tinggi.dan menutup deficit.
c.
Menugkatkan
pengawasan dan memperbaiki efisiensi dan produktivitas BUMN di maksud melalui
pengawasan masyarakat.
d.
Turut
mengembangkan pasar modal, membuka peluang investasi portofolio bagi pasar
investor dan memperluas pemilikan saham BUMN di masyarakat bila mana
privatisasi BUMN tersebut di lakukan penawaran umum saham di bursa efek.
Kondisi-kondisi perseroan yang menghambat dan memperburuk keuangan
pemerintah berusaha diatasi dengan merestrukturisasi BUMN tersebut. Oleh karena
itu, pemerintah mengambil tindakan-tindakan kebijakan ssebagai berikut:
a.
Percepatan
langkah restrukturisasi dan privatisasi dari semula kurang dari satu BUMN per
tahun menjadi sebanyak 12 BUMN di tahun 1998/1999.
b.
Memperbanyak
metode reformasi tidak hanya terbatas pada penjualan saham minoritas melalui Initial
Public Offering (IPO) seperti yang lazim dilakukan.
c.
Memindahkan
tangggung jawab reformasi dan manajemen yang pada awalnya di Departemen Teknis
ke Departemen Keuangan dan sekarang ke
Kator Menteri Negara Pendayagunaan BUMN/Badan Pengelola BUMN melalui PP No. 12
dan 13 diikuti dengan PP No. 50 dan 64 tahun 1998.
Untuk mendukug tindakan-tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah tersebut, maka pemerintah khususnya Departemen Teknis dan Kentor
Menteri Negara Pendayagunaan BUMN berupaya untuk:
a.
Merancang atau
memperbaiki pengaturan regulasi.
b.
Menetapkan
kebijaksanaan sector yang jelas dan kondusif bagi investasi.
c.
Pemiliha metode
restrukturisasi dan privatisasi terbaik serta pemilihan para pembeli yang terbaik.
1.2.
Privatisasi
BUMN
Privatisasi
merupakan peningkatan penyebaran kepemilikan kepada masyarakat umum dan swasta
asing maupun domestic untuk akses pendanaan, pasar, teknologi, serta
kapabilitas untuk bersaing di tingkat dunia. Privaatisasi telah menjadi model
pembenaan manajemen BUMN di berbagai negara dan privatisasi ini bahkan sering
kali dipandang sebagai alat yang efektif dan mendorong pesaing pasar dan
terutama untuk mencegah intervensi birokrasi pemerintah maupun proteksi pemerintah.
Ide utama dari gagasan ini adalah seharusnya pemerintah tidak melakukan
kegiatan yang erat kaitannya dengan bisnis.
Bisnis
merupakan kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah
berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan politik dan menjadi fasilitator
berbagai kegiatan, termasuk didalamnya kegiatan ekonomi dan tidak boleh menjadi
pemilik maupun pengelolannya.
Studi
yang dilakukan World Bank menunjukkan fenomena-fenomena atau fakta-fakta
tersebut (1997), yaitu antara lain:
1.
Kebanyakan BUMN
menyedot anggaran pemerintah yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk pelayanan
sosial.
2.
Kebanyakan BUMN
mengambil kredit untuk infestasi yang tidak tepat.
3.
Kebanyakan BUMN
lebih polutif dari pada industry swasta.
4.
Kabanyakan
perbaikan BUMN menghasilkan manfaat dalam mengurangi deficit fiscal (World
Bank, 1997, 1-2)
Dalam
perspektif historis, privatisasi bersumber dari mahzab ekonomi klasik yang
dikembangkan oleh Adam Smith. Dalam bukunya “ An Inqury the Nature and Causes
the Wealth of Nation”(1776) Smith antara lain mengemukakan bahwa upaya murni
dari individu untuk memperbaiki kehidupan adalah saat menggunakan kemampuan
secara bebas dengan penuh kekuatan berusaha sendiri tanpa bantuan. Upaya
tersebut tidak saja mampu membaewa masyarakat menuju kemakmuran tetapi juga
akan dapat mengatasi berbagai penyimpangan dari peraturan yang dibuat manusia
dan pelaksanaanya sering membebani(Smith 1981:508).
Dalam
kaitannya dengan penyediaan layanan public, Smith mengatakan bahwa pelayanan
publik tidak akan lebih baik apabila dikaitkan dengan upah yan diterima hanya
sebagai imbalan dari kinerja yang ditampilkan (Smith, 1981:678). Smith
mengemukakan pula kritiknya terhadap peran monopolist tang akan menganggu
mekanisme pasar, dan tidak dapat menggunakan sumber daya secara optimal.
Pemikiran
Adam Smith dilanjutkan oleh aliran ekonomi neoklasik yang mengharuskan negar
agar lebih focus kepada pasar. Intervensi dilakukan secara terukur dan
terkontrol, serta dibatasi hanya jika tidak terjadi kegagalan pasar(market
failure). Guna mendorong berkembangnya
sector swasta, Negara harus menyiapkan kebijakan fiskan, mneter, nilai tukar,
dan kebijakan perdagangan internasional yang terpadu. Negara dituntut untuk
dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang stabil sehingga mampu mendorong iklim
investasi. Dalam hal pemberian layanan public, Negara hanya berkewajiaban
menyediakan layanan public yang murni seperti hokum, pertahanan keamanan, dan
infrasruktur pembangunan(Islam,1994:95).
Definisi
privatisasi telah dikemukakan pula oleh beberapa penulis antara lain Kay dan
Thompson (1975:2) yang mengemukakan bahwa privatisasi merupakan terminology
yang mencakup perubahan hubungan pemerintah dengan sector swasta.
Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
mendefinisikan privtisasi adalah penjualan saham persero baik sebagian ataupun seluruhnya
kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,
memperbesar manfaat bagi Negara dan
masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Perubahan peran
pemerintah dari pemilik dan pelaksan, menjadi regulator dan fasilitator
kebijakan(Mardjana, 1993:4) serta penetapan sasaran nasional maupun sektoral.
Para pengelolah bertanggung jawab kepada pemilik baru, yang diharapkan mampu
mencapai sasaran perusahaan dalam rangka regulasi perdagangan, persaingan,
keselamatan kerja, dan peraturan lainnya yang ditetpkan pemerintah.
Dalam
studi lain, Savaz dalam Privatization, the Key to Better Government (1987:26-27)
menyatakan bahwa privatisasi lebih merupakan kegiatan politis daripada ekonomi.
Oleh karena itu menurut Savaz ada empat (4) syarat untu melakukan privatisasi
yaitu:
1.
Pemerintah
harus tetap mendorong berfungsinya mekanisme pasardan mendukung serta
meningkatkan supply barang dan pelayanan yang telah ada. Secara bertahap
pemerintah meninggalkan peranannya dalam kegiatan sektorial, secara parsial,
atau secara keseluruhan.
2.
Apabila
keterlibatan pemerintah masih dibutuhkan, maka peranannya tersebut harus
dikurangi melalui proses penyerahan kepada swasta.
3.
Harus ada
transparansi biaya public yang dibelanjakan oleh pemerintah, sehingga dapat
dicarikan alternative system penggantiannya.
4.
System
kompetisi segera diterapkan dan didukung dengan penghapusan monopoli
pemerintah.
1.2.1.
Kebijakan
Privatisasi
Pelaksanaan privatisasi dapat lebbih efektif apabila disertai sikap
wirausaha(entrepreneurship) dari para birokrat. Konsep wirausaha diperlukan
agar para birokratmempunyai sikap dan jiwa sebagai pelaksana usaha niaga yang
bergerak melalui organisasi public. Dengan demikian dana yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara maksimal, serta tidak terbuang sebagaimana umumnya terjadi
dalam organisasi public (Hugbes,1994:6).
Purwoko (2002) mengemukakan bahwa privatisasi BUMN dapat ditempuh
melalui beberapa metode yaitu:
a.
Strategi
privatisasi melalui pasar modal
b.
Privatisasi
melalui penempatan swasta oleh investordalam negeri dengan penyertaan dibawah
50%
c.
Privatisasi
melalui penempatan swasta oleh investordalam negeri dengan penyertaan diatas
50%
d.
Penempatan
swasta oleh investor asing dengan penyertaan dibawah 50%
e.
Penempatan
swasta oleh investor dari luar negeri dengan penyertaan diatas 50%.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam program privatisasi
antara lain:
a.
Pembentukan
kelembagaan(Institution Building): untuk melaksanakan beberapa deregulasi dan
membangun kerangka kerja untuk menjamin pelaksanaan program privatisasi
b.
Keseimbangan
Pergeseran(Balance shifting) : kebijakan privatisasi dilakukan secara
bertahap dengan memperhatikan
keseimbangan pergeseran peran pemerintah.
c.
Kekaburan
Batasan(Boundary Bluring): argument yang logis dari kebijakan privatisasi harus
dapat diberikan secara jelas dan terarah.
d.
Kontekstual
privatisasi (contextual privatization) : privatisasi harus disesuaikan dengan
factor kontekstual seperti deregulasi,liberalisasi pasar, dan kondisi ekonomi
politik suatau Negara agar tidaka terjadi kegagalan.
Untuk kasus di Indonesia, saat ini privatisasi BUMN lebih
ditunjukkan untuk mengurangi baban sector public, mengurangi besarnya subsidi
yang ditanggung pemerintah, dan untuk mendapatkan popularitas politis. Proses
privatisasi yang dilakukan pemerintah mengindikasikan adanya kegagalan
pasar(market failure). Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa fungsi yang
melakukan intervensi terhadap proses privatisasi, informasi pasar yang kurang
sempurna (asymmetry), dan beberapa asumsi dasar pasar persaingan tidak sempurna
tidak berjalan.
Kegagalan pasar terkait dengan privatisasi BUMN antara lain
ditandai dengan:
a.
Inneficiency :
meski pemerintah telah melakukan privatisasi namun kinerja BUMN belum
menunjukkan perubahan yang signifikan.
b.
Assymetric
information : informasi kurang sempurna, sehingga fungsi permintaan dan
penawaran tidak berjalan sempurna.
c.
Social Cost :
biaya social privatisasi relative tinggi, sehingga pada gilirannya mendorong
pihak swasta untuk memperhatikan dimensi social dari pengoperasian badan usaha
yang bersangkutan.
d.
Intervensi
pemerintah : tarik menarik kepentingan politik dan intervensi dari pihak
pemerintah pada gilirannya dapat mempengaruhi posisis keseimbangan
perekonomian.
Oleh karena itulah kebijakan privatisasi dilakukan dengan tujuan
antara lain :
1.
Memberikan
kontribusi financial kepada Negara dan BUMN
2.
Mempercepat
penerapan prinsip good corperate govermance
3.
Membukan
peluang akses ke pasar Internasional dan alih teknologi
4.
Menularkan
(transfer) best practices (praktik yang baik) ke BUMN lainnya.
Arah kebijakan privatisasi diklasifikasikan berdasarkan 3 (tiga)
struktur industry yaitu:
1.
Untuk BUMN yang
industrinya kompetitif dilakukan Initial Public Offering (IPO) atau strategic
sales
2.
Untuk BUMN yang
industrynya sudah sunset dilakukan divestasi.
3.
Untuk BUMN yang
usahanya bersifat natural resources base tetap dipertahankan sebagai BUMN.
1.2.2.
Privatisasi dan
Kinerja Perusahaan
Perbedaan
kinerja perusahaan milik Negara dengan milik swasta merupakan dasar
pertimbangan mengapa penelitian terkait dengan kinerja perusahaan pasca
privatisasi menarik untuk diteliti. Berbagai penelitian yang menganalisis
tentang dampak privatisasi terhadap kinerja perusahaan menunjukkan hasil yang
beragam. Sebagian besar penelitian dapat membuktikan bahwa privatisasi dapat
meningkatkan kinerja perusahaan milik Negara. Privatisasi mampu meningkatkan
kinerja, karena memberikan insentif perbaikan manajemen dan tata kelolah
perusahaan yang baik.
Cuervo
dan Villalonga (2000:584-588) mengemukakan hasil penelitian-nya bahwa
privatisasi mampu meningkatkan kinerja perusahaan melalui perubahan-perubahan
pada organisasi. Menurutnya terdapat lima (5) proposisi privatisasi dapat
meningkatkan kinerja perusahaan yaitu:
1.
Privatisasi
menyebabkan peningkatan kinrja yang lebih tinggi jika tidak terjadi pergantian
manajemen puncak pada perusahaan yang
diprivatisasi.
2.
Penggantian
manajemen puncak pada perusahaan yang di privatisasi lebih mungkin terjadi
apabila pemilik yang baru berasal dari luar perusahaan, intervensi politik
relative rendah, manajer puncak tidak digantikan karena privatisasi, dan pasar
modal memainkan peram control secara efektif.
3.
Privatisasi
mendorong perusahaan membuat skema insentif dan mekanisme control yang lebih
didasarkan pada outcomebased dan market based.
4.
Skema insentif
dan tujuan perusahaan yang diprivatisasi
akan mendorong peningkatan kinerja.
5.
Privatisasi
mendorong perusahaan untuk menerapakan
struktur organisasi yang lebih terdesentralisasi dan lebih berorientasi kepada
konsumen.
Kelima proporsi
tersebut memberikan gambaran bahwa privatisasi dapat memberikan dorongan
terhadapa pergantian dan revitalisasi manajemen, pelaksanaan good corporate
govarmance, perubahan tujuan, insentif dan pengendalian serta strategi,
struktur dan budaya organisasi untuk memperoleh kinerja perusahaan yang lebih
baik pasca privatisasi.
1.2.3.
Pro dan Kontra
Terhadap Privatisasi
Terdapat
berbagai pendapat tentang program privatisasi.pertimbangan yang diajukan oleh
pihak yang mendukung program privatisasi adalah:
1)
Organisasi pemerintah di anggap sudah
terlalu besar sehingga menjadi lamban,oleh karena itu organisasi pemerintah
harus di kurangi,kegiatan pada fungsi lain seyogyanya dapat di lakukan swasta
agar ndi lepaskan oleh pemerintah.
2)
Privatisasi berarti mengembalikan tugas pemerintahn
yang sebenarnya sebagai pengendali Negara bukan sebagai pelaksana.
3)
Privatisasi akan memberikan manfaat bagi
konsumen karena perusahaan yang di miliki oleh swasta memiliki insentif yang
besar untuk memproduksi dalam jumlah dan kualitas di harapkan.
4)
Privatisasi akan merangsang kompetisi
yang akan menuju kepada efisiensi dan meningkatkan produktivitasnya.
5)
Privatisasi BUMN akan membantu
pemerintah mendapatkan dana segar untuk membangun infrastuktur yang di perlukan
masyarakat.
6)
Terdapat anggapan bahwa campur tangan
pegawai pemerintah dan politikus akan mengurangi otonom manajemen BUMN.
Sedangkan
kontra terhadap privatisasi mengumumakan alas an-alasan yang seperti di
ungkapkan yair ahoroni sebagai berikut:
1) Penjualan
saham BUMN kinerjanya positif.berarti pemerintah bertindak merugikan Negara.
2) Pemerintah
kehilangan pendapatan dari keuntungan dan pajak yang berasal dari BUMN.
3) Foktor
efisiensi BUMN bukan di tentukan oleh kepemilikan perusahaan sehingga alas an
penjualan saham/asset kepada swasta dengan tujuan agar BUMN efisien adalah
tidak relavan.
4) De-nasionalisasi
merupakan tindakan yang tidak tepat ketika sebagai besar industry dalam keadaan
resesi.
5) De-nasionalisasi
akan merusak jaringan kerjasama antar BUMN dalam system subsidi silang
pemerintah.
1.2.4.
Model-model
Privatisasi BUMN
a.
Pada tahun 1988
terbit Instruksi Presiden No. 5 Tahun 1988 yang dijabarkan lebih lanjut dengan
Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 740 dan 741 tahun 1989, yang menekankan
tentang perlunya kinerja BUMN yang lebih baik. Kedua peraturan tersebut
mengakui penggunaan alat-alat untuk memperbaii kinerja BUMN yaitu antara lain:
restrukturisasi, pelaksanaan kerja sama operasi atau joint operation,
penggabungan usaha atau merger dan bentuk-bentuk lainnya dari
partisipasi swasta termasuk penawaran saham kepada masyarakat maupun swasta dan
penempatan langsung (direct placement) atau trade sales. Dalam
peraturan ini privatisasi belum diakui sebagai alat untuk memperbaiki kinerja
BUMN. Namun beberapa tindakan yang mengarah ke privatisasi telah dilakukan
yaitu seperti perubahan status dari beberapa BUMN misalnya dari perum menjadi
persero dan beberapa penggabungan usaha.
b.
Selama delapan
tahun berikutnya setelah keluarnya dua peraturan tersebut, banyak saham-saham
minoritas perusahaan BUMN yang ditawarkan baik di BEJ maupun di BES bahkan di
NYES dan LSE. Saham-saham BUMN yang dikuasai oleh pemerintah akan diperlukan
kepemilikannya kepada masyarakat maupun pihak swwasta dengan cara:
1)
Penggunaan
pasar umum di pasar modal.
2)
Penjualan saham
secara direct placement kepada penusaha-pengusaha baru untuk mengurangi
konsentrasi kepemilikan perusahaan. Prosedur yang digunakan adalah dengan short
list yaitu preferensi akan diberikan kepada pendatang baru.
3)
Penjualan saham
kepada pihak-pihak yang tidak dominan dalam satu sector tertentu untuk
mendorong terjadinya persaingan.
4)
Menempatkan
sebagian saham-saham pemerintah ke dalam suatu Privatisation Trust Fund
yang dimiliki oleh pemerintah tetapi dikelola secara professional, untuk
kemudian dijual kepada public yang lebih luas.
5)
Mendorong Manajement
By-Out dan kepemilikan saham-saham pemerintah oleh karyawan BUMN yang
bersangkutan. Yang terakhir dapat meliputi diskon harga saham dan atau
pembayaran saham yang ditunda.
6)
Rencana-rencana
juga akan dikembangkan untuk pembentukan sebuah National Unit Trust yang
asetnya akan terdiri atas saham-saham perusahaan BUMN yang baru diprivatisasi.
1.3.
Kasus BUMN di
China
China
adalah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yaitu sekitar 9%-10%
setiap tahunnya setidaknya dalam 5 tahun terakhir ini. Di balik tingginya angka
pertumbuhan ekonomi tersebut, ternyata peran BUMN China cukup dominan. Jurnal Far
Eastern Economic Review (FEER) terbitan Oktober 2006 lalu menurunkan artikel
Hofman dan Kuijs, ekonom Bank Dunia di Beijing. Dalam tulisannya, Hofman dan
Kuijs menyatakan bahwa BUMN China memegang peran yang signifikan dalam
perekonomian China, khususnya BUMN yang bergerak di sektor padat modal seperti
industri berat.
State-owned
Assets Supervision and Administration Commission
(SASAC) melaporkan bahwa dalam tujuh bulan pertama 2006 ini, laba BUMN China
mencapai 497 miliar yuan ($63 miliar), naik sebesar 15,2% dibandingkan tahun
lalu. Sementara itu, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan
China menunjukkan bahwa laba dari seluruh BUMN China pada tahun 2005 mencapai
905 miliar yuan ($114 miliar), meningkat 25% dari tahun 2004.
Sedangkan
berdasarkan survei dari National Bureau of Statistics (BPS-nya China) menunjukkan
kontribusi BUMN China yang mengalami kerugian menurun, yaitu dari sekitar 40%
lebih di tahun 1998 menjadi kurang dari 35% di tahun 2004, dengan angka kerugian
dari 115 miliar yuan ($15 miliar) di tahun 1998 menjadi sebesar 66 miliar yuan ($8
miliar) di tahun 2004. Laba dari BUMN penghasil laba juga meningkat, yaitu dari
52 miliar yuan ($6,6 miliar) di tahun 1998 menjadi 531 miliar yuan ($67 miliar)
di tahun 2004. Departemen Keuangan China juga mencatat bahwa subsidi untuk BUMN
rugi juga terus mengalami penurunan dan sekarang tinggal 20 miliar yuan ($2,5
miliar), atau hanya 2% dari total keuntungan laba BUMN China. Peningkatan
kinerja BUMN China tersebut membuktikan bahwa restrukturisasi telah membawa
hasil positif bagi BUMN di China.
1.3.1.
Pelajaran dari China
Pemerintah China memang sedang gencar melakukan restrukturisasi
atas BUMNBUMN-nya. Tercatat, pada tahun 2002, sekitar 86% dari sekitar 87.000
BUMN yang telah dilakukan restrukturisasi, 70%-nya dilakukan privatisasi baik
secara parsial maupun secara penuh, 10% dilikuidasi, dan 20% dilakukan merger/konsolidasi
dengan BUMN lainnya. Konsekuensi dari langkah ini, BUMN pun melakukan pemangkasan
tenaga kerja (layoff).
Tercatat, antara 1998-2005, sekitar 35 juta pekerja BUMN
kehilangan pekerjaan. Tetapi, restrukturisasi BUMN ini menghasilkan peningkatan
kinerja BUMN China.
Terdapat beberapa kasus yang menarik dari proses restrukturisasi
BUMN di China sehingga bisa sukses. Pertama, pemerintah China memiliki
komitmen kuat terhadap BUMN-nya. China adalah negara dengan sistem politik
komunis. Biasanya, negara dengan sistem politik komunis, pengaruh intervensi
politik terhadap BUMN-nya akan sangat kuat. Namun, China ternyata bisa
memisahkan antara urusan politik dengan ekonomi. Sistem politik China memang
komunisme, tetapi sistem ekonominya kapitalis. Untuk mencegah intervensi politik ke BUMN,
pemerintah China membentuk SASAC yang independen (semacam Temasek) pada Maret
2003. SASAC inilah yang mengendalikan sekitar 127.000 BUMN (posisi tahun 2005).
Uniknya, SASAC diberi mandat untuk mengelola portofolio BUMN tanpa terikat
harus menyetorkan dana hasil dividen ataupun privatisasi BUMN kepada
pemerintah. SASAC memiliki keleluasaan atas penggunaan dana hasil dividen
ataupun privatisasi BUMN, yang biasanya digunakan untuk kepentingan investasi
BUMN yang dikelola SASAC.
Baru belakangan ini, pemerintah China meminta SASAC agar
menyetorkan dividen. Pemerintah China meminta SASAC agar pada tahun 2007, SASAC
menyetor dividen. Tujuannya, selain untuk membiayai kebutuhan publik dan
pengembangan industri, juga diarahkan untuk membatasi investasi BUMN yang
dinilai overinvestment. Seperti penulis sebut di atas, kontribusi BUMN
terhadap perekonomian nasional China sangatlah besar. Pemerintah China merasa
perlu mengurangi laju ekspansi investasi BUMN China untuk mendinginkan suhu
ekonomi yang overheating, karena tumbuh rata-rata 10% per tahun dengan
cara menarik dividen (The Wall Street Journal edisi Asia, 18 September
2006).
Kedua,
pemerintah China menggunakan doktrin “grasp the large and let go of the small”
(zhua da fang xiao) dalam pengembangan BUMN-nya. Artinya, pemerintah
China akan mempertahankan BUMN besar dan akan melepas BUMN-BUMN kecil. Sebagai
negara komunis, tidaklah mengherankan bila China memiliki begitu banyak BUMN. Namun,
hanya sebagian kecil BUMN yang merupakan perusahaan besar. Selebihnya adalah
perusahaan kecil, atau yang lebih dikenal dengan istilah township-village
enterprises (TVEs) yang kebanyakan beroperasi di level pemerintahan
propinsi.
Kebijakan yang diambil terhadap BUMN besar, seperti Shanghai
Baosteel Group Corporation (perusahaan baja terbesar di China) dan China
Petroleum & Chemical Corporation atau Sinopec (perusahaan
minyak terbesar di Asia) adalah mempertahankan kepemilikan mayoritas
pemerintah. Kemudian, atas BUMN ini dilakukan berbagai upaya korporatisasi dan
privatisasi secara parsial untuk masuknya investor baru yang bisa membawa
perubahan dalam budaya kerja perusahaan. Langkah korporatisasi tersebut misalnya
dilakukan dengan membentuk holding company ataupun merger/akuisisi. Sementara itu, bagi BUMN kecil dilakukan upaya
pelepasan atas mayoritas saham pemerintah kepada publik melalui initial
public offering (IPO). Tidak mengherankan bila dalam satu dekade ini,
jumlah perusahaan yang listing di bursa efek China meningkat dratis
(lihat grafik). Meski gelombang privatisasi di China meningkat, sesungguhnya kepemilikan
swasta pada perusahaan yang listing di bursa China tidaklah besar.
Sebuah studi di tahun 2002 menunjukkan, hanya 11% dari perusahaan China yang listed
yang dikuasai oleh swasta. Kemudian atas perusahaan yang telah listed
tersebut, dibentuk sebuah holding company untuk mengelola portofolio
kepemilikan saham tersebut.
Ketiga,
perlu dipahami bahwa proses restrukturisasi dan privatisasi BUMN di China bukanlah
tidak mengalami persoalan. Perlu dipahami bahwa tidak semua BUMN besar China
telah dikelola dengan tingkat efisiensi dan profitabilitas tinggi. Di sisi
lain, ketika BUMN tersebut hendak direstrukturisasi, persoalan yang dihadapi
adalah bagaimana strategi me-layoff karyawan yang dinilai tidak
produktif dan membebani perusahaan agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan
politik.
Menarik apa yang dilakukan China, atas BUMN yang bermasalah
tersebut ditempuh upaya dimana BUMN tersebut mendirikan perusahaan baru yang
merupakan kombinasi antara swasta dengan BUMN. Dari perusahaan baru ini, BUMN
mendapatkan dividen dan menjadi pendapatan BUMN. Dana tersebut tersebut
kemudian digunakan untuk membiayai pesangon bagi karyawan yang akan di-layoff.
Dengan cara ini, konflik sosial bisa ditekan karena hak-hak karyawan telah
dipenuhi dan tidak membebani BUMN.
1.3.2.
Pelajaran Bagi Indonesia
Mungkin pengalaman China dalam merestrukturisasi BUMN-nya bukanlah
contoh yang ideal bagi Indonesia. Namun, dari pengalaman China ini kita
menyadari bahwa sesungguhnya sukses tidaknya masa depan BUMN, sangat tergantung
dari kemauan politik dari semua pihak (terutama pemerintah dan parlemen).
Kemauan politik yang diharapkan tersebut adalah mau tidak semua pihak
menghilangkan intervensi politik pada setiap BUMN kita. Bila di China, dan juga
di Singapura dan Malaysia, mereka bisa menghilangkan intervensi politik pada
BUMN-nya, lalu mengapa di Indonesia tidak bisa?
Kedua, ke
depan model pengelolaan BUMN di bawah sebuah kementerian yang tidak independen
(dalam arti menjadi bagian pemerintah) seperti yang berlaku saat ini, perlu
ditinjau ulang. Sudah saatnya induk bagi pengelolaan BUMN dilepaskan dari
institusi pemerintah dan menjadi super holding company yang independen
dan terpisah dari unsur politik. Pengelolanya pun harus dari kalangan
profesional yang pengalaman di bidang korporasi dan financial engenering
(rekayasa keuangan), bukan kalangan birokrat.
Kemudian, kepada holding ini diberikan keleluasaan dalam mengelola
portofolio dan investasi BUMN. Tentu tidak semua BUMN bisa masuk dalam dalam
pembinaan super holding company. Terhadap BUMN yang bisnis intinya mengelola public
service harus dikembalikan menjadi badan/agen pemerintah.
Kesimpulan
Program
privatisasi yang dijalankan oleh pemerintah sebagai salah satu elemen utama
dalam strategi Kebijakan Restrukturisasi Sektor Riil. Kebijakan ini merupakan
salah satu langkah strategis untuk keluar dari krisis ekonomi yang sedang
melanda Indonesia. Privatisasi diharapkan mampu membangkitkan kembali sector
riil negara, dengan menggerakkan motor pertumbuhan industri yaitu BUMN dan
terutama mampu memberikan kontribusi pendapatan bagi negara sehingga dapat
menambah tabungan pemerintah.
Kinerja
BUMN merupakan faktor yang sangat menentukan penilaian keberhasilan pengelolaan
BUMN. Untuk mengukur kinerja ini maka harus dibuat perbandingan antara kinerja
masa lalu (sebelum privatisasi) dan kinerja saat ini (pasca privatisasi),
sehingga akan diketahui perubahan yang dihasilkan dari dua periode yang berbeda
tersebut.
Kebijakan
pemerintah untuk melakukan privatisasi bukan hanya merupakan kebijakan yang
bersifat mikro, yang hanya akan berdampak pada perusahaan-perusahaan BUMN yang
diprivatisasi itu saja, melainkan juga akan berdampak terhadap kehidupan
perekonomian Indonesia secara menyeluruh. Dorongan untuk melakukan privatisasi
ini terutama disebabkan oleh kondisi makro yang melanda Indonesia, yaitu karena
kesulitan anggaran untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah dan juga
untuk membayar utang luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Adolf, Huala. 1997. Hukum
Ekonomi internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
Bastian, Indra. 2002. Privatisasi di Indonesia: Teori dan
Implementasi. Jakarta: Salemba Empat.
_________. 2000. Model Pengelolaan Privatisasi.
Yogyakarta: BPFE
Cuervo, Alvaro, & Bele Villalonga. 2000. Explaining The
Varience in The Performance Effect of Privatisation. The Academy of
Management Review.
Daniri,
Achmad, “Agenda kelembagaan dan governance, BUMN sangat mungkin menjadi pemain tingkat dunia”, Bisnis Indonesia, 22/01/2009.
Mardjana, I. Ketut. 1999. Publisher
Enterprises Under The New Order Dalam Richard W. Baker(ed) Indonesian
Challenge of Change. Singapura: ISEAS.
Purwoko. 2002. Model privatisasi BUMN
yang Mendatangkan Manfaat bagi Pemerintah dan Masyarakat Indonesia. Kajian
Ekonomi dan Keuangan. 6 (1)
Ringkasan Master Plan Revitalisasi BUMN
2005-2009, Kantor Kementerian BUMN, 2005
Sagir, Soeharsono. 2009.Kapita Selekta Ekonomi Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Santosa,
P. Setyanto, “Pembentukan Holding Company BUMN Peluang dan Tantangan”,Dari http://www.pacific.net.iddiakses pada
tanggal 13 Desember 2012.
Savas, E.S. 1987. Privatisation: The
Key to Better Government. New Jersey, USA: Chatam House Publisher Inc.
Subiyantoro, Heru & M. Arief S.R. 2004. Kebijakan Fiskal: Pemikiran,
Konsep dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Sunarsip, “Menyoal pro-kontra master
plan BUMN”. Bisnis Indonesia, 24/02/2005
Suwarsono, Muhammad, "Restrukturisasi BUMN, Privatisasi ke Profitisasi",Jawa
Pos,03/12/2005
Tambuan, Tulus. 2011. Perekonomian
Indonesia (kajian teoretis dan analisis empiris). Bogor: Ghalia
Indonesia.
The World Bank. Public Expenditure Management Handbook.
Washington, D.C.
No comments:
Post a Comment