PENDAHULUAN
Abad 21
merupakan abad yang sering kita sebut era globalisasi atau age of globalization, dimana ditandai oleh kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi menghasilkan alat transportasi,
telekomunikasi dll.
Yang menjadikan hubungan antar satu dengan yang lainnya
dipermukaan bumi ini nyaris tanpa batas atau borderless. Apa yang terjadi di
luar tanpa kesulitan untuk diakses bahkan dapat disuguhkan di kamar pribadi
kita. Sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan mampu menciptakan manusia-manusia
yang unggul diberbagai bidang.
Disaat kondisi tersebut, merupakan sebuah tuntutan bagi setiap
Organisasi baik profit maupun nonprofit untuk menyiapkan sumber daya manusia
(SDM) yang unggul. Sebab, tanpa adanya persiapan SDM yang matang, kiranya sulit
bagi organisasi bisnis untuk bersaing dengan yang lain.
Disadari atau tidak bahwa SDM memegang peranan yang sangat penting
bagi dinamisasi sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya. Peranan disini
diartikan sebagai bentuk kemampuan secara maksimal dalam menjalankan tugas
yang diberikan oleh organisasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
(Tupoksi), yang mencakup seluruh aktifitas yang ada dalam organisasi tersebut,
mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, sampai pada
evaluasi hasil kegiatan. Maka dari itu, tidak berlebihan apabila SDM
diposisikan teratas dari pada faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap
aktifitas organisasi, seperti tehnologi, modal, tanah dan lain-lain.
Menurut Buller (1995) kesuksesan organisasi dapat dilihat melalui partnership yang baik antara sumberdaya
manusia dan perencanaan strategis yang dilakukan oleh organisasi. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi integrasi antara perencanaan strategis dan sumberdaya
manusia dalam organisasi yaitu : lingkungan (environment), strategi di tingkat korporasi, bisnis dan sumberdaya manusia sendiri, karakteristik organisasi (yang
meliputi ukuran, sejarah, budaya dan struktur organisasi ), proses dan sistem
organisasi (yang meliputi human resource
control, informasi, pengambilan keputusan dan komunikasi, tugas dan
teknologi, praktik dan falsafah manajemen, skill dan nilai karyawan serta
politik organisasi )
Mengingat peranannya yang begitu besar, maka sebuah organisasi harus
betul-betul memperhatikan SDM ini secara maksimal. Salah satu wujud nyata yang
perlu diperhatikan adalah dengan menciptakan situasi lingkungan kerja yang
Humanis atau melakukan perbaikan kualitas kehidupan kerja (Filippo: 1983:412);
pada dasarnya, perbaikan kualityas kehidupan kerja ini mengacu pada keadaan
menyenangkan terhadap lingkungan pekerjaan bagi setiap karyawan/pegawai dengan
tujuan pokoknya adalah untuk mengembangkan lingkungan yang aman, nyaman dan
harmonis baik bagi karyawan maupun produksinya
PENGERTIAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
Menurut
Bernardin dan russel (1993:520) Quality of Work Life (QWL) is the degree to
which individuals are able to satisfy their important personal need (e.g. need
for independent) while imployed by the firm. yaitu tingkat individu-individu
yang merasa puas atas kebutuhan-kebutuhan penting mereka –seperti kebutuhan
untuk bebas- dimana mereka bekerja dalam suatu perusahaan. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh
bagaimana pekerja merasakan perannya dalam setiap organisasi. Peran disini
diartikan sebagai bagian dari cara yang sistematis dimana karyawan
berpartisipasi didalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut masalah
sikap dan terkait dengan pekerjaan, kegiatan, dan organisasi mereka, sehingga
peran tersebut mampu memberikan rasa tanggung jawab dan merasa memiliki (sense
of belonging) terhadap setiap pekerjaan yang muncul dari kesepakatan dan
keputusan bersama (Wheter dan davis, 1996:502).
Sedangkan
menurut French (dalam Arifin, 1999:1) mengartikan kualitas kehidupan secara
sempit yaitu teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, pengayaan
pekerjaan (job enrichment), suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan serikat
pekerja, upaya manajemen untuk memelihara kebugaran mental para karyawan,
hubungan industri yang serasi, manajemen partisipatif dan sebagai salah satu
bentuk intervensi dan pengembangan organisasional.
Perkembangan
selanjutnya adalah kualitas kehidupan kerja merupakan bentuk filsafat yang
diterapkan oleh manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan
sumberdaya pada khususnya. Sebagai filsafat dasar, kualitas kehidupan kerja
merupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerjaan dan organisasi
dengan berbagi aktivitas di dalam tempat kerja (Filippo, 1983:412). Unsur-unsur
pokok dalam filsafat tersebut adalah kepedulian manajemen tentang dampak
pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para karyawan
dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan terutama menyangkut pekerjaan
karier, penghasilan dan nasib mereka dalam pekerjaannya. Akan tetapi
memanusiakan lingkungan kerja dengan mengakui dan menghargai harkat dan
martabat sebagai manusia dalam organisasi merupakan masalah yang sangat
ditekankan dalam teori ini.
Untuk
meningkatkan kualitas kehidupan kerja terdapat sembilan (9) aspek dari
sumberdaya manusia di lingkungan perusahaan yang perlu diciptakan, dibina dan
dikembangkan yaitu:
1.
di lingkungan setiap dan semua
perusahaan, pekerja sebagai sumberdaya menusia memerlukan komunikasi yang
terbuka dalam batas-batas wewenang dan tanggungjawab masing-masing.
2.
di lingkungan suatu perusahaan,
settiap dan semua pekerjaan memerlukan pemberian kesempatan untuk memecahkan
konflik dengan perusahaan atau sesama karywan secara terbuka, jujur, dam
lain-lain.
3.
di lingkungan suatu perusahaan,
setiap dan semua pegawai memerlukan kerjasama karir masing-masing dalam
menghadapi masa depannya.
4.
di lingkungan suatu perusahaan,
setiap pegawai perlu diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan pekerjaan, sesuai dengan posisi, wewenang, dan jabatan
masing-masing.
5.
di lingkungan suatu perusahaan,
setiap pegawai perlu dibina dan dikembangkan perasaan bangganya pada pekerjaan
dan tempat kerjanya.
6.
di lingkungan suatu perusahaan,
setiap pegawai harus memperoleh kompensasi yang adil, wajar dan mencukupi.
7.
di lingkungan suatu perusahaan,
setiap pegawai memerlukan keamanan lingkungan kerja.
8.
di lingkungan suatu perusahaan,
semua pegawai memerlukan jaminan kelangsungan pekerjaannya
9.
di lingkungan suatu perusahaan,
semua dan setiap pegawai memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan
kesehatannya agar dapat bekerja secara efektif, efisien, dan produktif.
Sedangkan
komponen-komponen utama didalam kualitas kehidupan kerja yang berguna untuk
meningkatkan produktifitas karyawan dan memperbaiki kualitas produk serta
mengurangi absenteism menurut Wayne (1982:25) adalah:
1.
Pay (upah)
2.
Employee benefit (the most frequently mentioned issue were health
care, dental care, and relirement)/ masalah yang
terkait dengan karyawan seperti jaminan kesehatan dll.
3.
Job scurity (kemanan kerja)
4.
Alternative work schedules (adanya
jadwal kerja alternatif)
5. Job stress
Dampak dari
kualitas kehidupan kerja yang buruk salah satu diantaranya adalah timbulnya
stres di tempat kerja. Stres kerja merupakan istilah umum yang menunjuk pada tekanan dan
masalah yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan kerjanya. Konsep stres
mengandung dua makna yaitu positif dan negatif. Jika orang dapat mengatur atau
mengelola stres dengan baik maka secara psikologis akan menumbuhkan semangat
dan motivasi untuk bekerja. Sebaliknya jika stress terlalu berlebihan akan
menyebabkan terganggunya kesehatan baik secara fisik maupun nonfisik (Titin
Ekowati, 2009).
Stress yang
sering dikeluhkan orang biasanya merupakan suatu perasaan tegang atau tekanan
yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada
diri kita. Saat ini, reaksi stress pada umumnya berhubungan dengan ancaman
finansial, emosional, mental, dan sosial. Oleh karena itu pimpinan suatu
organisasi perlu mengelola stress agar karyawan mampu bekerja produktif
sehingga kinerja organisasi dapat dicapai secara maksimal ( Anwar Prabu
Mangkunegara, 2003 : 179 ).
Menurut Szilagyi
( 1990 ) stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan
adanya ketidakseimbangan pisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai akibat
dari faktor lingkungan eksternal organisasi atau orang lain. Stress kerja
merupakan perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan
dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain
emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur,
merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah
meningkat dan mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stress kerja antara lain
beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas
pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, autoritas kerja yang
tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan
nilai antar karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja.
Stress yang
terjadi berlarut – larut dapat menyebabkan karyawan mengalami burn out. Menurut Sulistyantini ( dalam
Lailani, dkk, 2005 ), stress dan tekanan kerja dapat mengalami pasang surut dan
berubah – ubah. Dengan kata lain , hari ini individu mengalami stress, esok
harinya bisa kembali normal. Sedangkan burn out terjadi secara perlahan melalui
proses waktu cukup lama. Atau stress merupakan proses adaptasi sementara
terhadap tekanan lingkungan sehingga bersifat fluktuatif dan tidak menetap,
serta tidak disertai perubahan sikap dan perilaku. Burnout merupakan tahap
akhir dari ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan tekanan lingkungan,
dimanan proses terjadinya berjalan perlahan dan waktu yang lama, serta terjadi
perubahan sikap – perilaku yang negatif pada orang lain dan pekerjaannya.
Burnout bukanlah kondisi yang bersifat temporal dan terjadi secara bertahap,
perlahan dan menetap dalam jangka waktu yang lama.
Problem
interpersonal dalam lingkungan kerja dapat terjadi terhadap resipien, kolega,
supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami burnout dapat membawa problem
di tempat kerja ke rumah, yang oleh Jackson dan Maslach disebut dengan negative
spillover. Tipikal individu yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari
kontak sosial dan lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.
Sikap negatif
yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan interpersonal saja tetapi
dapat pula terjadi pada pekerjaan ataupun organisasi. Sikap negatif dalam
hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak berperasaan (callous),
memisahkan diri (detached), acuh tak acuh (indifferent), sinis (synical)
terhadap resipien, merupakan karakteristik yang sering muncul pada penderita
burnout.
Burnout dapat
memperburuk kualitas kerja (Chermis dan Freudenberger, dalam Schultz dan
Schultz, 1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan,
turnover tinggi dan juga absen, serta rendahnya produktivitas kerja ( Schaufeli
dan Buunk, 1996 ). Jaffe dan Scott ( dalam Sulistyantini, 1997 ) menambahkan
bahwa burnout dapat menimbulkan masalah bagi organisasi atau perusahaan karena
simpton burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun, frustasi,
penurunan semangat kerja, turnover, hilangnya dedikasi dan kreativitas
individu. Simpton ini juga sering disertai dengan munculnya simpton fisik.
Sikap negatif
terhadap pekerjaan atau organisasi yang sering muncul adalah hilangnya motivasi
intrinsik individu seperti semangat, antusiasisme, minat dan idealisme.
Individu yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh organisasi atau
rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan
akhirnya mengkritik dan tidak mempercayai pihak manajemen, rekan kerja, maupun
supervisor. Individu yang mengalami burnout merasa tujuan – tujuannya tidak
tercapai dengan disertai perasaan serba kurang dan rendahnya harga diri ( self
– esteem ).
Menurut Chermiss
dan Freudenberget ( dalam Schultz dan Schultz, 1994 ), individu yang mengalami
burnout menunjukkan rendahnya energi dan minat pekerjaan. Individu mengalami
kelelahan emosional, apatis, murung, mudah marah, dan merasa bosan, cenderung
mencari kesalahan pada semua aspek yang ada di lingkungannya, termasuk pada
rekan kerja dan bersikap negatif kepada orang lain, serta kualitas kerjanya
menurun. Schultz dan Schultz ( 1994 ) menambahkan , sikap negatif yang dapat
berkembang adalah individu cenderung bersikap kaku pada pekerjaan, mengikuti
peraturan dan prosedur kerja dengan terpaksa karena mereka mengalami kelelahan
untuk bersikap fleksibel terhadap pendekatan – pendekatan alternatif.
a.
Partisipation in decitions that affect them (partisipasi karyawan dalam setiap keputusan)
b. Democracy in the workplace
c. Profit sharing
d.
Pansion right (hak pensiun)
DIMENSI KUALITAS KEHIDUPAN KERJA
Menurut Wayne
(1989:240) ada dua (2) pandangan mengenai maksud dari Kualitas Kehidupan Kerja.
Pertama, Kualitas Kehidupan Kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari
organisasi (contoh: pengkayaan penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja,
dan kondisi kerja yang aman). Sementara yang kedua, Kualitas Kehidupan Kerja
adalah persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, secrara rela mereka
puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya
manusia.
Sedangkan
menurut Siagian (dalam Arifin, 1999:2) Kualitas Kehidupan Kerja sebagai
filsafat manajemen menekankan pada.
a.
Program kompetitif dengan
mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan tuntutan karyawan.
b.
Peraturan perundang-undangan.
Seperti ketentuan yang mengatur pencegahan tindakan yang diskriminatif,
perlakuan pekerja dengan cara-cara yang manusiawi dan ketentuan sistem imbalan
upah minimum.
c.
Pengakuan keberadaan serikat
pekerja dalam organisasi dengan berbagai perannya memperjuangkan kepentingan
para pekerja termasuk upah dan gaji, keselamatan kerja, dan penyelesaian
pertikaian buruh/karyawan berdasrkan berbagai ketentuan normatif yang berlaku
di wilayah tertentu.
d.
Pentingnya manajemen yang
manusiawi, yang pada hakikatnya berarti penampilan gaya manajemen yang
demokratik termasuk penyelia yang simpatik.
e.
Perkayaan pekerjaan, sebab
merupakan bagian integral yang sangat penting bagi dinamisasi perusahaan.
f.
Pentingnya tanggungjawab sosial
dari pihak manajemen dan perlakuan manajemen terhadap karyawan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dari berbagai
definisi dan karakteristik Kualitas Kehidupan Kerja di atas, yang selanjutnya
oleh Arifin (1999:3) disimpulkan bahwa Kualitas Kehidupan Kerja mempunyai empat
(4) dimensi yang perlu diterapkan oleh manajemen untuk mencapai kinerja yang
unggul dan produktifitas kerja karyawan, yaitu.
Lingkungan kerja
Lingkungan kerja
dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan manajemen. Meskipun
lingkungan kerja tidak melaksnakan proses produksi dalam suatu perusahaan,
namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap para karyawan yang
melaksanakan proses produksi tersebut. Lingkungan kerja yang memusatkan bagi
karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak
memadai akan dapat menurunkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak
memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja
karyawan.
Suatu kondisi
lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksnakan
kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja
dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi
lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan
waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja
yang efisien.
Beberapa ahli
mendifinisikan lingkungan kerja antara lain sebagai berikut :
1. Nitisemito
(2000:183) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut:
“Lingkungan
kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat
mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan”.
2. Sedarmayati
(2001:1) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut :
“Lingkungan
kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan
sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan
kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok”.
Dari beberapa
pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu
yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang berbentuk fisik
ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi
dirinya dan pekerjaanya saat bekerja.
• Jenis Lingkungan
Kerja
Sedarmayanti
(2001:21) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis ingkungan kerja terbagi
menjadi 2 yakni : (a) lingkungan kerja fisik, dan (b) lingkungan kerja non
fisik.
• Lingkungan
kerja Fisik
Menurut
Sedarmayanti (2001:21),
“Lingkungan
kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar
tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun scara
tidak langsung.
Lingkungan kerja
fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :
1.
Lingkungan yang langsung
berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya)
2.
Lingkungan perantara atau
lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi
manusia, misalnya :temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan,
kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
Untuk dapat
memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap karyawan, maka langkah pertama
adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai fisik dan tingkah lakunya
maupun mengenai fisiknya, kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan
lingkungan fisik yang sesuai
• Lingkungan
Kerja Non Fisik
Menurut
Sadarmayanti (2001:31), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang
terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan
maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”.
Lingkungan non
fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
Menurut
Nitisemito (2000:171-173) Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang
mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan maupun yang memiliki status
jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah
suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.
Sentoso (2001:19-21)
yang mengutip pernyataan Prof. Myon Woo Lee sang pencetus teori W dalam Ilmu
Manajemen Sumber Daya Manusia, bahwa pihak manajemen perusahaan hendaknya
membangun suatu iklim dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa
kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga
hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti inilah
yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi
perusahaan untuk mencapai tujuan.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja
Manusia akan
mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik, sehingga dicapai suatu hasil yang
optimal, apabila diantaranya ditunjang oleh suatu kondisi lingkungan yang
sesuai. Suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia
dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal, sehat, aman, dan nyaman.
Ketidaksesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu
yang lama. Lebih jauh lagi, Keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut
tenaga dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan
sistem kerja yang efisien. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu
kondisi lingkungan kerja.
Berikut ini
beberapa faktor yang diuraikan Sedarmayanti (2001:21) yang dapat mempengaruhi terbentuknya
suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya
adalah :
1.
Penerangan/cahaya di tempat
kerja
2.
Temperatur/suhu udara di tempat
kerja
3.
Kelembaban di tempat kerja
4.
Sirkulasi udara di tempat kerja
5.
Kebisingan di tempat kerja
6.
Getaran mekanis di tempat kerja
7.
Bau tidak sedap ditempat kerja
8.
Tata warna di tempat kerja
9.
Dekorasi di tempat kerja
10. Musik di tempat kerja
11. Keamanan di tempat kerja
Kompensasi (Upah atau gaji)
Salah satu
tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu memastikan organisasi memiliki
tenaga kerja yang bermotivasi dan berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan
sarana untuk menghadapi perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya.
Dalam usaha mendukung pencapaian tenaga kerja yang memiliki motivasi dan berkinerja
tinggi, yaitu dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sistem
kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu sarana terpenting dalam membentuk
perilaku dan mempengaruhi kinerja. Namun demikian banyak organisasi mengabaikan
potensi tersebut dengan suatu persepsi bahwa “kompensasi tidak lebih sekadar a
cost yang harus diminimisasi”. Tanpa disadari beberapa organisasi yang
mengabaikan potensi penting dan berpersepsi keliru telah menempatkan sistem
tersebut justru sebagai sarana meningkatkan perilaku yang tidak produktif atau
counter productive. Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal misalnya low
employee motivation, poor job performance, high turn over, irresponsible
behaviour dan bahkan employee dishonestry yang diyakini berakar dari sistem kompensasi
yang tidak proporsional.
Menurut Handoko,
“Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja adalah adanya
kebutuhan dalam diri manusia yang harus dipenuhi (Handoko, 2003, p.30)” Dengan
kata lain, berangkat dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia
bekerja dengan menjual tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada
perusahaan dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan).
Secara umum
kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat anggota berbuat
sesuai dengan keinginan organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu
menciptakan kemauan diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung
dengan organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara
umum berarti bahwa karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan
mendapatkan kebutuhan penting yang mereka perlukan. Dimana didalamnya termasuk
interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan dan perkembangan.
Menurut J. Long
(1998:8) dalam bukunya Compensation in Canada mendefinisikan sistem kompensasi
adalah bagian (parsial) dari sistem reward yang hanya berkaitan dengan bagian
ekonomi, namun demikian sejak adanya keyakinan bahwa perilaku individual
dipengaruhi oleh sistem dalam spektrum yang lebih luas maka sistem kompensasi
tidak dapat terpisah dari keseluruhan sistem reward yang disediakan oleh
organisasi. Sedangkan reward sendiri adalah semua hal yang disediakan
organisasi untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan individual. Adapun dua
jenis reward tersebut adalah :
a.
Ekstrinsik kompensasi, yang
memuaskan kebutuhan dasar untuk survival dan security dan juga kebutuhan sosial
dan pengakuan. Pemuasan ini diperoleh ari faktor-faktor yang ada di sekeliling
para karyawan di sekitar pekerjaannya, misalnya : upah, pengawasan, co worker
dan keadaan kerja.
b.
Intrinsik kompensasi, yang
memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya untuk kebanggaan,
penghargaan, serta pertumbuhan dan perkembangan yang dapat diperoleh dari
faktor-faktor yang melekat dalam pekerjaan karyawan itu, seperti tantangan
karyawan atau interest suatu pekerjaan yang diberikan, tingkatan
keragaman/variasi dalam pekerjaan, adanya umpan balik, dan otoritas pengambilan
keputusan dalam pekerjaan serta signifikansi makna pekerjaan bagi nilai-nilai organisasional.
Masalah
kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang
menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat dan kegairahan
kerja para karyawan. Dengan demikian maka setiap badan usaha harus dapat
menetapkan kompensasi yang paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai
tujuan badan usaha secara lebih efektif dan lebih efisien. Seberapa besar
kompensasi diberikan harus sedemikian rupa sehingga mampu mengikat para
karyawan. Hal ini adalah sangat penting sebab bila komponen yang diberikan
kepada para karyawan terlalu kecil bila dibandingkan badan usaha lain, maka hal
ini dapat menyebabkan karyawan pindah ke badan usaha yang lain. Dalam
perkembangannya sistem kompensasi sendiri mempunyai tiga komponen pokok, yaitu
:
a.
Upah dasar (based pay),
merupakan komponen upah dasar bagi kebanyakan karyawan, dan pada umumnya
berdasarkan hitungan waktu, seperti jam, hari, minggu, bulan atau per tahun.
b.
Upah berdasar kinerja
(performance related pay), berkaitan dengan monetary reward dengan basis ukuran
atau merupakan upah yang didasarkan pada ukuran kinerja individu, kelompok atau
organisasi.
c.
Upah tidak langsung dikenal
sebagai employee benefit “keuntungan bagi karyawan” terdiri dari barang-barang
jasa non cash item atau services yang secara langsung memuaskan sejumlah
kebutuhan spesifik karyawan, seperti jaminan keamanan pendapatan (income
security) termasuk asuransi jiwa, perlindungan kesehatan termasuk medical &
dental plan dan pensiun.
Menurut Mondy,
bentuk dari kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) financial compensation, dan (2)
non-financial compensation,
Financial
compensation (kompensasi finansial)
Kompensasi
finansial artinya kompensasi yang diwujudkan dengan sejumlah uang kartal kepada
karyawan yang bersangkutan. Kompensasi finansial implementasinya dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu:
a.
Direct Financial compensation
(kompensasi finansial langsung) Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran
berbentuk uang yang karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji/upah,
tunjangan ekonomi, bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara
periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti, sedangkan
upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja dengan berpedoman pada
perjanjian yang disepakati pembayarannya.
b.
Indirect Financial compensation
(kompensasi finansial tak langsung) Kompensasi finansial tidak langsung adalah
termasuk semua penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi langsung.
Wujud dari kompensasi tak langsung meliputi program asuransi tenaga kerja
(jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran biaya sakit (berobat), cuti dan lain-lain.
Non-financial compensation (kompensasi non finansial)
Kompensasi non-finansial
adalah balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan bukan berbentuk
uang, tapi berwujud fasilitas. Kompensasi jenis ini dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu:
• Non financial
the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan)
Kompensasi non
finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan yang menarik,
kesempatan untuk berkembang, pelatihan, wewenang dan tanggung jawab,
penghargaan atas kinerja. Kompensasi bentuk ini merupakan perwujudan dari
pemenuhan kebutuhan harga diri (esteem) dan aktualisasi (self actualization).
• Non financial
job environment (kompensasi berkaitan dengan lingkungan pekerjaan)
Kompensasi non
finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat berupa supervisi kompetensi
(competent supervision), kondisi kerja yang mendukung (comfortable working
conditions), pembagian kerja (job sharing). (Mondy, 2003, p.442)
Besarnya
kompensasi yang diterima karyawan mencerminkan jabatan, status, dan tingkat
pemenuhan kebutuhan yang dinikmati oleh karyawan bersama keluarganya. Apabila
kompensasi yang diterima karyawan semakin besar, berarti jabatannya semakin
tinggi, statusnya semakin baik, dan pemenuhan kebutuhan yang dinikmatinya
semakin banyak pula. Dengan demikian kepuasan kerja karyawan semakin baik dan
hasil kerja pun akan baik.
Kepentingan
perusahaan dengan pemberian kompensasi yaitu memperoleh imbalan prestasi kerja
yang lebih besar dari karyawan. Sedangkan kepentingan karyawan atas kompensasi
yang diterima, yaitu dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya dan menjadi
keamanan ekonomi rumah tangganya. Bagi perusahaan, kompensasi merupakan faktor
utama dalam kepegawaian. Kebijakan sumber daya manusia banyak berhubungan
dengan pertimbangan untuk menentukan kompensasi karyawan. Tingkat
besar-kecilnya kompensasi sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat
jabatan, dan masa kerja karyawan
Partisipasi karyawan
Pandangan dari
pemecahan masalah secara partisipatif melibatkan anggota-anggota organisasi
pada berbagai tingkatan. Manajemen partisipatif adalah suatu sistem dimana
anggota-anggotanya dilibatkan dalam pelaksanaan operasional atau kegiatan
bisnis di bawah arahan dari penyelia. Dalam hal ini pekerja memiliki kesempatan
untuk berpartisipasi atau terlibat didalam pengambilan keputusan yang
mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap pekerjaan mereka.
Kualitas kehidupan kerja tidak dapat didelegasikan secara sepihak oleh
manajemen, namun melalui kesepakatan antara atasan dan bawahan yang kemudian
oleh Arifin (1999:3) istilah tersebut dikenal dengan konsep employee involment
(keterlibatan pekerja).
Keterlibatan
pekerja diartikan sebagai bentuk perizinan para pekerja untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka. Dimana pihak manajemen
melepaskan tanggungjawab dan peranan pengambilan keputusan. Hal ini membuktikan
bahwa adanya rasa saling percaya antara pihak manajemen dengan pekerja tanpa
harus saling curiga.
Secara teoritis
manajemen partisipatif diklasifikasi menjadi dua (2) bagian. Pertama, setiap
individu dalam suatu organisasi sanggup untuk menyumbangkan perbaikan-perbaikan
dalam kerja yang mereka lakukan. Ini berarti bahwa setiap orang dalam
tugas-tugas khusus adalah pekerja yang paling tahu bidang garapannya
masing-masing. Terlebih jika pekerja dimotivasi untuk dikembangkan lebih banyak
untuk mempengaruhi situasi kerja. Para pekerja lebih cenderung untuk lebih
komitmen terhadap pencapaian tujuan dan perubahan dimana mereka turut
membentuknya. Kedua, bahwa hasil dari kelompok kerja bersama-sama akan lebih
besar dari pada jumlah usaha individu secara terpisah.
Restrukturisasi kerja.
Perhatian
selanjutnya dalam konteks Kualitas kehidupan kerja adalah restrukturisasi kerja
yang secara alami dilakukan oleh karyawan dan sistem kerja yang melingkupinya.
restrukturisasi kerja mencakup pengawasan, penetapan kerja terutama prosedur
dalam pengembangan para pekerja dengan keterlibatan pekerja. Dengan demikian
akan membuat pekerja menjadi interdependensi sehingga akan terbentur kerjasama
yang solid antar tim. Jika kondisi ini sudah menjadi budaya dalam organisasi,
maka untuk mencapai tingkat kerja yang diinginkan tidak sulit dalam hal ini
Kualitas kehidupan kerja mengandung pengertian bahwa kehidupan kerja
seseaorang, terdapat kemungkinan untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan
yang dimilikinya.
Daftar Pustaka
1.
Alex S. Nitisemito (2000).
Manajemen Personalia: Manajemen Sumber Daya Manusia, Ed. 3, Ghalia Indonesia,
Jakarta
2.
Arifin, Nur. Aplikasi konsep
Quality of Worklife (QWL) dan Upaya Menumbuhkan Motivasi Karyawan berkinerja
Unggul. Usahawan No. 10 Th. XXVIII. Oktober. 1999
3.
Bernadin and Russel, Joice E.A.
1993. Human Resources Management, An Experiential Approach. By McGraw-Hill,
Inc. Newyork, USA
4.
Cascio, Wayne F. 1989. Managing
Human Resource. Productivity, Quality of Worklife, Profit. Second Edition.
McGraw-Hill, Inc. Singapura.
5.
Filippo B. Edwin. 1983.
Personal Management. Sixth Edition. McGraw-Hill. International Book Company,
USA
6.
Mangkunegara, Anwar P, 2003,
Perencanaan & Pengembangan Sumberdaya Manusia, Bandung : Refika Aditama.
7.
Paul. F. Buller, 1995,
Successful Partnerships : HR and Strategic Planning at Eight Top Firms, Academy
of Management Executive, Vol9. No.2
8.
Schaufeli, W.B., and Buunk,
B.P.1996. Profesional Burnout, Handbook of Work and Health Psychology.,
Schabracq, M.J. Winnubst, J.A.M., Cooper, C.L. ( Editor ). Chichester : John
Wiley and Sons Ltd.
9.
Schultz, D.P., and Schultz,
S.E. 1994. Psycology and Work Today : an Introduction to Industrial an
Organizational Psycology. Sixth Edition, New York : Macmillan Publishing
Company.
10.
Sedarmayanti (2001). Sumber
Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Mandar Maju, Bandung
11.
Suryadi Perwiro Sentono (2001).
Model Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia, Asia dan Timur Jauh, Bumi
Aksara, Jakarta
12.
Sulistyantini, S.R. 1997.
Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat di Rumah Sakit
Angkatan Laut Jakarta Pusat. Hasil Penelitian ( tidak diterbitkan ). Jogjakarta
: Fakultas Psikologi, UGM.
13.
Titin ekowati, 2009, Quality of
Work Life : Upaya Antisipasi Stress di Tempat Kerja. Jurnal, published in www.um-pwr.ac.id
14.
Werther, William B. JR. and
Davis, Keith. 1996. Human Resources and Personal management. Fifth Edition.
McGraw-Hill, Inc Boston, USA
Oleh: Zaim Mukaffi, SE., M.Si*
FE-UIN Maliki Malang
No comments:
Post a Comment