Latar Belakang
Ketimpangan
pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai
aspek, bentuk, dan dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan hasil-hasilnya tetapi
juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Tidak juga
semata-mata berupa ketimpangan antardaerah atau spasial, atau antara daerah
pedesaan dan perkotaan.Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan
ketimpangan regional.
Tersedia
cukup bukti yang bisa diajukan untuk menunjukkan betapa ketimpangan masih
memprihatinkan.Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun bukti tersebut bisa
terlihat dengan kasap mata dan dirasakan. Bermunculannya kawasan-kawasan kumuh
ditengah beberapa kota besar, begitu juga sebaliknya, hadirnya kantong-kantong
mewah ditepian kota atau bahkan didaerah pedesaan adalah salah satu bukti nyata
ketimpangan yang langsung dapat kita saksikan dan rasakan.
Begitu
juga dengan strategi nasional yang telah diformulasikan dalam bentuk progam
nasional, dan telah diformulasikan dalam bentuk progam nasional, dan telah
diimplementasikan untuk merubah status atau
posisi yaitu dari kabupaten tertiggal menjadi tidak tertinggal.Hasilnya ada
yang sudah berpindah status ke tidak tertinggal kini menjadi tertinggal.
Oleh
sebab itu, dengan adanya ketimpangan daerah tertinggal dengan daerah tidak
tertinggal dan menjadikan pertumbuhan ekonomi kurang dan juga nasib kemiskinan
yang semakin hari semakin merajalela, disetiap daerah harus mempunyai strategi
pembangunan daerah sendiri-sendiri.Mengikuti dengan keadaan-keadaan yang
berlaku pada daerah tersebut.
Pengertian Pembangunan ekonomi antar daerah
Pembangunan
ekonomi antar daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan
masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan
kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi)
dalam wilayah tertentu(Lincolin Arsyad, 1999).Masalah pokok dalam pembangunan
daerah adalah terletak pada penekanan kebijakan-kebijakan pembangunan yang
berdasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan atau disebut dengan endogenous
development.Semuanya menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan
dan fisik secara lokal. Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan
inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan
untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang kegiatan ekonomi.
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses yang mencakup pembentukan-pembentukan
institusi baru, pembangunan industri-industri alternatife, perbaikan kapasitas
tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih
baik.Identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan
perusahaan-perusahaan baru.Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai
tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat
daerah.Dalam upaya untuk mencapai tujuan tesebut, pemerintah daerah dan
masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan
daerah.Oleh karena itu, pemerintah daerah besertapartisipan masyarakatnya
dengan menggunakan sumberdaya yang ada harus menafsir potensi sumberdaya yang
diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah (Lincolin Arsyad, 1999).
Daerah
tertinggal adalah daerah Kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan
daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif
tertinggal. Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk
mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan
sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan
komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan
dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda
dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya.Pembangunan
daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial,
budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal
dengan daerah maju).Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup
di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari
pemerintah.
Berdasarkan
hal tersebut, diperlukan program pembangunan daerah tertinggal yang lebih
difokuskan pada percepatan pembangunan di daerah yang kondisi sosial, budaya,
ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur masih
tertinggal dibanding dengan daerah lainnya.Kondisi tersebut pada umumnya
terdapat pada daerah yang secara geografis terisolir dan terpencil seperti
daerah perbatasan antarnegara, daerah pulau-pulau kecil, daerah pedalaman,
serta daerah rawan bencana.Di samping itu, perlu perhatian khusus pada daerah
yang secara ekonomi mempunyai potensi untuk maju namun mengalami ketertinggalan
sebagai akibat terjadinya konflik sosial maupun politik.
Perencanaan
pembangunan ekonomi daerah bisa dianggap sebagai perencanaan untuk memperbaiki
penggunaan sumberdaya publik yang tersedia didaerah tersebut dan untuk
memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya swasta
yang tanggung jawab.Pembangunan ekonomi yang efisien membutuhkan secara
seimbang perencanaan yang lebih teliti mengenai penggunaan sumberdaya publik
dan sektor swasta. Ada tiga implikasi pokok dari perencanaan pembangunan
ekonomi daerah:
1.
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah
yang realistik memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan
lingkungan nasional dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya,
keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari
interaksi tersebut.
2.
Sesuatu yang tampaknya baik secara nasional
belum tentu baik untuk daerah tersebut, begitu juga sebaliknya, yang baik
didalam daerah belum tentu baik secara nasional.
3.
Perangkat kelembagaan yang tersedia
untuk pembangunan daerah.
Oleh
karena itu, perencanaan daerah yang efektif harus bisa membedakan apa yang
seyogyanya dilakukan dan apa yang dapat dilakukan dengan menggunakan sumberdaya
pembangunan sebaik mungkin yang benar-benar dapat dicapai dan mengambil manfaat
dari infomasi yang tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para perencanaan
dengan obyek tersebut.Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain
menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau
mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran.
Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya(Todaro, 2000).
Daerah
Tertinggal
Dalam KepMen PDT nomor 1 tahun 2005
tentang StrategiNasional Pembangunan Daerah Tertinggal. Didefinisikan sebagai
daerah kabupaten yang masyarakat dan wilayahnya relative kurang berkembang
dbandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Indikator daerah
tertinggal meliputi pengembangan ekonomi local, pemberdayaan masyarakat,
peningkatan kapasitas kelembagaan, pengurangan keterisolasian dan penanganan
karaketeristik khusus daerah.
Faktor yang
diperkirakan menjadi penyebab ketertinggalan daerah[1]
adalah:
a.
Belum adanya sifat profisionalisme dan
kewirausahaan dari pelaku pengemabng kawasan didaerah.
b.
Masih lemahnya koordinasi, sinergi dan
kerjasama diantara pelaku-pelaku pengembbang kawasan.
c.
Keterbatasan jaringan prasarana dan
sarana fisik serta ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk
unggulan daerah itu sendiri.
d.
Belum optimalnya pemanfaatan kerjasama
antar wilayah dan antar Negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan
dan produk.
e.
Ketidak seimbangan antara pasokan sumber
daya alam dan kebutuhan pembangunan.
f.
Arah dan kebijakan pmbangunan yang
cenderung “inward looking”.
g.
Adanya daerah dan pulau-pulau terkecil
dan terisolasi.
Kriteria unit
terkecil daerah tertinggal yang digunakan dalam strategi nasional ini adalah
wilayah administrasi kabupaten.Hal ini sesuai dengan kewenangan otonomi daerah
yang secara penuh diberikan kepada pemerintah kabupaten.Penetapan kriteria daerah
tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan
enam kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia,
prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal),
aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada
di daerah perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan
bencana, dan daerah rawan konflik. Ke-6 (enam) kriteria ini diolah dengan
menggunakan data Potensi Desa (PODES) 2003 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) 2002 dan data
Keuangan
Kabupaten 2004 dari Departemen Keuangan.Berdasarkan pendekatan tersebut, maka
ditetapkan 199 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal.Strategi
pembangunan daerah tertinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
masing-masing daerah. Strategi dimaksud meliputi:
·
Pengembangan ekonomi lokal, strategi ini
diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan pada
pendayagunaan potensi sumberdaya lokal (sumberdaya manusia, sumberdaya
kelembagaan, serta sumberdaya fisik) yang dimiliki masing-masing daerah, oleh
pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok
kelembagaan berbasis masyarakat yang ada.
·
Pemberdayaan Masyarakat, strategi ini
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan aktif dalam
kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
·
Perluasan Kesempatan, strategi ini
diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai
keterkaitan dengan daerah maju.
·
Peningkatan Kapasitas, strategi ini
diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya
manusia pemerintah dan masyarakat di daerah tertinggal.
·
Peningkatan Mitigasi, Rehabilitasi dan
Peningkatan, strategi ini diarahkan untuk mengurangi resiko dan memulihkan
dampak kerusakan yang diakibatkan oleh konflik dan bencana alam serta berbagai
aspek dalam wilayah perbatasan.
Perencanaan
Pembangunan Daerah
Pembangunan
daerah pada dasarnya adalah pembangunan diberbagai sector yang luas baik
pembangunan pedesaan, pertanian, industri, perdagangan, infrastruktur dan
sebagainya (Abiyoso dan Hengki, 1994).Perencanaan pembangunan daerah masih
berorientasi ke atas dan peranan atau dominasi sektoral masih terlalu besar.Hal
ini disebabkan karena biaya pembangunan kurang dari 80 % masih berasal dari
dana APBN dan dinas atau instansi vertikal yang berorientasi proyek sehingga
dalam kenyataannya keterpaduan sukar diwujudkan (Rugesti, 1999). Hendaknya
keterpaduan itu lebih ditekankan pada keterpaduan program dan keterpaduan
pelaksanaan pembangunan daerah. Disamping itu karena kemampuan atau kapasitas
sumberdaya manusia di daerah relatif masih sangat terbatas. Oleh karena itu
perlu pengurangan dominasi perencanaan dari atas yang menuju pemberdayaan
perencanaan dari bawah. Walaupun perencanaan dari atas tersebut tidak selalu
berarti negatif. Namun sudah saatnya dilakukan upaya peningkatan pemberdayaan
seluruh lapisan masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pembangunan, agar
keterpaduan perencanaan dari atas dengan perencanaan yang datang dari bawah
dapat diwujudkan secara optimal.
Teori dan Konsep Dasar Pembangunan
Wilayah
Pendefinisian
wilayah banyak dilakukan untuk keperluan analisa ruang. Dalam menentukan
batas-batas wilayah maka dikelompokkan menurut kriteria tertentu.
Penentuan batas-batas wilayah menurut Hanafiah
(1988) didasarkan pada kriteria :
1)
Konsep Homogenitas
Wilayah
dapat diberi batas berdasarkan beberapa persamaan unsur tertentu,seperti unsur
ekonomi wilayah, yaitu pendapatan perkapita, kelompok industry maju, tingkat
pengangguran, keadaan sosial politik, identitas wilayahberdasarkan sejarah,
budaya dan sebagainya.
2)
Konsep Nodalitas
Wilayah
dibedakan atas perbedaan struktur tata ruang dalam wilayah dimanaterdapat
hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional. Keadaanini dapat
dibuktikan dengan mobilitas penduduk, arus faktor produksi, arusbarang, pelayanan
ataupun arus transportasi dan komunikasi. Hubungan salingketerkaitan ini
terlihat pada hubungan antara pusat dan wilayah terbelakang.
3)
Konsep Administrasi atau Unit Program
Penetapan
wilayah ini didasarkan pada perlakuan kebijaksanaan yangseragam, seperti
kebijaksanaan pembangunan, system ekonomi, tingkat pajakyang sama dan
sebagainya. Pengertian yang ketiga ini memberi batasan suatu wilayah
berdasarkan pembagian administrative negara. Jadi suatu wilayahadalah suatu
ruang ekonomi yang berada di bawah suatu administrasi tertentuseperti suatu
propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Wilayah seperti iniadalah wilayah
perencanaan atau wilayah program.
Gunawan
(2000), wilayah sebagai metoda klasifikasi menghasilkan tiga tipe wilayah
yaitu:
1.
Wilayah Formal
Wilayah
yang mempunyai beberapa persamaan dan kriteria tertentu. Padamulanya,
klasifikasi wilayah formal didasarkan atas persamaan fisik, sepertitopografi,
iklim atau vegetasi, kemudian berkembang lebih lanjut denganpemakaian kriteria
ekonomi ; seperti adanya wilayah industri dan wilayahpertanian bahkan
mempergunakan kriteria sosial politik
2.
Wilayah Fungsional
Wilayah
yang memperlihatkan adanya suatu kekompakan fungsional, salingtergantung dalam
kriteria tertentu. Wilayah fungsional ini terkadangdimasukkan juga sebagai
wilayah nodal atau wilayah polarisasi dan terdiri dariunit-unit yang heterogen
seperti kota besar, kota-kota kecil dan desa-desasecara fungsional saling
tergantung.
3.
Wilayah Perencanaan
Wilayah
ini merupakan kombinasi dari kedua wilayah di atas, yaitu wilayahformal dan
fungsional. Dalam wilayah perencanaan, ada beberapa hal yangharus diperhatikan,
antara lain suatu wilayah harus cukup luas untukmemenuhi kriteria investasi
dalam skala ekonomi, harus mampu menunjangindustri dengan pengadaan tenaga kerja,
persamaan ekonomi, mempunyaisedikitnya satu kota sebagai titik tumbuh dan
strategi pembangunan yang sama untuk memecahkan masalah yang sama.
Wilayah yang
paling banyak digunakan menurut Sukirno dalam Gunawan(2000) adalah wilayah
administrasi. Hal ini dikarenakan dua faktor, pertama,dalam melaksanakan
kebijakan dan perencanaan pembangunan wilayahdiperlukan berbagai badan
pemerintah sehingga lebih praktis apabila suatunegara dipilah-pilah menjadi
beberapa wilayah ekonomi berdasarkan suatukaedah administrasi. Kedua, wilayah
yang batasnya ditentukan berdasarkansuatu unit pengumpulan data.
Teori Ekonomi Basis
Teori ini
dikembangkan dari teori basis ekonomi perkotaan dimana dinyatakan bahwa
pertumbuhan suatu wilayah tergantung pada pertumbuhan aktivitas ekspornya. Ide
dasarnya adalah bahwa pertumbuhan suatu wilayah tergantung pada pertumbuhan
fungsi ekspor dan permintaan dari luar wilayah tersebut. Teori ini menjelaskan
bahwa pertumbuhan suatu wilayah melalui permintaan eksternal produknya.
Menurut Hoover (1977) dalam Nuryati (1999)
kegiatan-kegiatan dalam suatu wilayah dapat dibedakan menjadi :
·
Kegiatan Basis
Kegiatan
basis adalah kegiatan yang pertumbuhannya akan mendorong danmenentukan
pembangunan wilayah secara keseluruhan.
·
Kegiatan Non-Basis
Kegiatan
yang pertumbuhannya hanya merupakan akibat dari pembangunanwilayah secara
keseluruhan.
Teori basis
menganalisis perubahan dalam suatu wilayah yang diakibatkan oleh ekspor pada
kondisi statis dalam jangka pendek, sedangkan penerapan dalam kondisi yang
dinamis dalam jangka panjang dijelaskan oleh teori basis ekspor yang
dikemukakan oleh North dan Glasson (1977) dalam Nuryati (1999). Menurut teori
ini pertumbuhan suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi sumberdaya alam dan
pertumbuhan basis ekspor yang sangat dipengaruhi oleh permintaan eksternal dari
wilayah lain.
Untuk mengetahui
apakah suatu sektor merupakan sektor basis atau bukan dapat digunakan beberapa
metode yaitu : (a) metode pengukuran langsung dan (b) metode pengukuran tidak
langsung (Agustina 1996). Metode pengukuranlangsung dapat dilakukan dengan
survey langsung untuk mengidentifikasi sector mana yang merupakan sektor basis.
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan sektor basis dengan cepat, akan
tetapi memerlukan biaya, waktu, dan tenaga kerja yang banyak. Mengingat hal
tersebut di atas maka sebagian besar pakar ekonomi wilayah menggunakan metode
pengukuran tidak langsung, yaitu : (a) metode melalui pendekatan asumsi, (b)
metode LQ (Location Quetient), (c) metode kombinasi antara a dan b, dan (d) metode
kebutuhan minimum. Dari keempat metode tersebut, Glasson (1977) menyarankan
untuk menggunakan metode LQ dalam penentuan sektor basis.
Masalah yang mendasar dalam model ekonomi basis
adalah masalah kesenjangan waktu (time lag). Hal ini diakui bahwa penggandaan
basis (basemultiplier) tidak berlangsung secara cepat karena membutuhkan
waktu antara respon dari sektor basis terhadap perubahan sektor basis.
Paradigma Baru Teori Pembangunan
Ekonomi Daerah
Suatu pendekatan
alternative terhadap teori pembangunan dirumuskan disini untuk kepentingan
perencanaan pembangunan ekonomi daerah.Pendekatan ini merupakan sintesa dan
perumusan kembali konsep – konsep yang telah ada. Pendekatan ini memberikan
dasar bagi keranka berpikir dan rencana tindakan yang akan diambil dalam
konteks pembangunan ekonomi daerah.
Paradigma Baru Teori Pembangunan Ekonomi
daerah
Komponen
|
Konsep Lama
|
Konsep Baru
|
Kesempatan kerja
|
Semakin banyak perusahaan =semakin
banyak peluang kerja
|
Perusahaan harus mengembangkan
pekerjaan yangsesuai dengan kondisi penduduk daerah
|
Basis Pembangunan
|
Pengembangan sector ekonomi
|
Pengembangan lembaga-lembaga ekonomi
baru
|
Aset-Aset lokasi
|
Keunggulan komparatif didasarkan pada
asset fisik
|
Keunggulan
kompetitifdidasarkan pada kualitaslingkungan
|
Sumberdaya Pengetahuan
|
Ketersidaan angkatan kerja
|
Pengetahuan sebaai pembangkit ekonomi
|
5. Tahap Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Daerah
Menurut Blakely
(1989) ada 6 tahap dalam proses perencanaa pembangunan ekonomi daerah
sebagaimana yang disajikan dalam tabel dibawah ini
;
TAHAP
|
KEGIATAN
|
I
|
I Pengumpulan dan Analisis Data
a.
Penentuan Basis Ekonomi
b.
Analisis Struktur Tenaga Kerja
c.
Evaluasi Kebutuhan Tenaga Kerja
d.
Analisis Peluang dan Kendala
Pembangunan
e.
Analisis Kapasitas Kelembagaan
|
II
|
II Pemilihan Strategi Pembangunan
Daerah
a.
Penentuan Tujuan dna Kriteria
b.
Penentuan Kemungkinan-kemungkinan
Tindakan
c.
Penyusunan Strategi
|
III
|
III Pemilihan Proyek-proyek
Pembangunan
a.
Identifikasi Proyek
b.
Penilaian Viabilitas Proyek
|
IV
|
IV Pembuatan Rencana Tindakan
a.
Prapenilaian Hasil Proyek
b.
Pengembangan Input Proyek
c.
Penentuan Alternatif Sumber Pembiayaan
d.
Identifikasi Struktur Proyek
|
V
|
V Penentuan Rincian Proyek
a.
Pelaksanaan Studi Kelayakan Secara
Rinci
b.
Penyiapan Rencana Usaha (Busisness Plan)
c.
Pengemabangan, Monitoring dan
Pengevaluasian Program
|
VI
|
VI Persiapan Perencanaan Secara
Keseluruhan dan Implementasi
a.
Penyiapan skedul Implementasi Rencana
Proyek
b.
Penyusunan Program Pembangunan Secara
Keseluruhan
c.
Tergeting dan Marketing Aset-aset
Masyarakat
d.
Pemasaran Kebutuhan Keuangan
|
Peran Pemerintah dalam Pembangunan
Daerah
Ada 4 peran yang
diambil oleh pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi daerah yaitu :
a.
1Entrepreneur, yaitu Pemerintah daerah bertanggungjawab
menjalankan suatu usaha bisnis
seperti BUMD yang dikelola lebih baik sehingga menguntungkan secara
ekonomis.
b.
Koordinator, yaitu pemerintah daerah melibatkan
lembaga-lembaga pemerintah lainnya, di dalam dunia usaha dan masyarakat untuk
melakukan penyusunan sasaran dengan konsistensi pembangunan daerah dengan
nasional dan menjamin perekonomian daerah akan mendapatkan manfaat yang
maksimum daripadanya.
c.
Fasilitator, yaitu Pemerintah daerah
dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan didaerahnya,
sehingga dapat mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta
pengaturan penetapan daerah yang lebih baik.
d.
Stimulator, yaitu Pemerintah daerah dapat menstumulasi
penciptaan dan pengembangan usaha melalui tindakan-tindakan khusus yang akan
mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk masuk ke daerah tersebut dan menjaga
agar perusahaan yang telah ada tetap berada di daerah tersebut.
Indikator Pembangunan Daerah
Pembangunan
selalu menimbulkan dampak, baik positif maupun negative.Oleh karena itu
dibutuhkan indikator sebagai tolak
ukur terjadinya pembangunan. Berikut ini disajikan beberapa
indikator
pembangunan, yang secara
garis besar dapat
di kelompokkan menjadi :
a)
GNP/GDP per Kapita
Yaitu GNP/GDP
dibagi dengan jumlah
penduduk. GNP/GDP adalah nilai
akhir barang dan
jasa yang berhasil
diproduksi oleh suatu perekonomian (masyarakat) pada suatu
periode waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Jika GNP/GDP
tersebut dibagi dengan
jumlah penduduk maka didapatkan
GNP/GDP per kapita.
Klasifikasi Negara
berdasarkan GNP/GDP atau
kelompok pendapatannya dapat saja
berubah pada setiap
edisi publikasi Bank Dunia.
Sebagai contoh, Bank
Dunia pada tahun
1995 mengklasifikan Negara
berdasarkan tingkatan GNP/GDP per kapita sebagai berikut: Negara
berpenghasilan rendah, adalah
kelompok Negara-negara
dengan GNP per
kapita kurang atau
sama dengan US$
695. Negara berpenghasilan menengah
adalah kelompok Negara-negara
dengan GNP/GDP per kapita lebih dari US$ 695 namun kurang dari US$
8.626. Negara berpenghasilan tinggi
adalah kelompok Negara-negara
dengan GNP/GDP per kapita di atas US$ 8.626. Kelemahan
dari indicator ini,
tidak memasukkan produksi
yang tidak melalui pasar
seperti dalam perekonomian
subsisten, jasa ibu
Rumah Tangga, transaksi barang
bekas, kerusakan lingkungan,
dan masalah distribusi
pendapatan.
b)
Growth (pertumbuhan)
Yaitu perubahan
output (GNP/GDP) yang
terjadi selama satu kurun
waktu tertentu (satu
tahun). Bank Dunia
pada tahun 1993 memperkenalkan beberapa
sebutan menyangkut
pertumbuhan ekonomi
Negara-negara di dunia
yaitu; High Performing
Asian Economies (HPAEs), yang diidentifikasi
karena memiliki ciri umum
yang sama, seperti pertumbuhan
ekspor yang cepat.
Kelompok HPAEs ini
dibagi lagi menurut lamanya
catatan sukses mempertahankan pertumbuhan ekonomi, yaitu:
Pertama, 4 macan Asia, biasanya
diidentikkan dengan
Hongkong, Korea Selatan,
Singapura, dan Taiwan.
Negara-negara ini tingkat pertumbuhan
ekonominya amat cepat
dan mulai mendekati rangking Negara
berpenghasilan tinggi. Kedua,
Newly Industrializing
Economies (NIEs), meliputi
Indonesia, Malaysia, dan
Thailand. Kelompok Negara-negara ini
memilki rata-rata pertumbuhan
GDP riil sebesar 5,5 per sen per
tahun.
Asia Timur
mencakup semua Negara berpenghasilan rendah dan menengah di
kawasan Asia Timur
dan Tenggara serta
Pasifik. Asia Selatan mencakup
Bangladesh, Bhutan, India,
Myanmar, Nepal, Pakistan, dan
Srilangka. Eropa, Timur
Tengah, dan Afrika
Utara mencakup Negara-negara berpenghasilan menengah
di kawasan Eropa (Bulgaria, Yunani,
Hungaria, Polandia, Portugal,
Rumania, Turki, dan bekas
Yugoslavia) dan semua
Negara di kawasan
Afrika Utara dan Timur
Tengah, serta Afganistan.
Sub-Sahara Afrika meliputi
semua Negara di sebelah
selatan gurun Sahara
termasuk Afrika Selatan.
Amerika Latin dan
Karibia terdiri atas
semua Negara Amerika
dan Karibia di sebelah Selatan Amerika Serikat.
c)
GDP per Kapita dengan Purchasing Power Parity
Perbandingan antar
negara berdasarkan GNP/GDP
per kapita seringkali menyesatkan.
Hal ini disebabkan
adanya pengkonversian
penghasilan suatu negara
ke dalam satu
mata uang yang
sama (US dollar) dengan
kurs resmi. Kurs
nominal ini tidak
mencerminkan kemampuan
relative daya beli
mata uang yang
berlainan, sehingga
kesalahan sering muncul
saat dilakukan perbandingan
kinerja antarnegara. Oleh karena itu, Purchasing Power Parity (PPP) dianjurkan
sebagai Pemerataan Pendapatan.
d)
Perubahan Struktur Ekonomi
Mengukur tingkat
kemajuan struktur produksi
(Pertanian, manufaktur, dan jasa-jasa). Peranan sector pertanian akan
menurun untuk memberi kesempatan bagi
tampilnya sector-sektor
manufaktur dan jasa, yang secara sengaja
senantiasa diupayakan agar terus berkembang. Oleh karena itu,
strategi pembangunan biasanya
berfokus pada upaya
untuk menciptakan
industrialisasi secara besar-besaran
sehingga kadangkala
mengorbankan kepentingan pembangunan sector
perrtanian dan daerah pedesaan pada umumnya.
e)
Kesempatan Kerja
Rendahnya sifat
kewirausahaan penduduk di
negara-negara berkembang,
memaksa pemerintah di
negara-negara tersebut untuk menyiapkan dan
membuka lapangan pekerjaan
bagi masyarakatnya.
Dengan pencapaian
tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, diharapkan akan
menciptakan lapangan pekerjaan dan
berbagai peluang ekonomi lainnya.
f)
Pengangguran
Tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi
di negara-negara berkembang, pada
akhirnya menjadi bom
waktu sekitar 15
sampai dengan 20 tahun
kemudian, pada saat mereka masuk sebagai
angkatan kerja. Besarnya angkatan
kerja yang tersedia
di negara-negara berkembang, tidak
diikuti dengan penyediaan
lapangan kerja buat mereka
sehingga menyebabkan angka
pengangguran menjadi tinggi.
Dengan
penciptaan lapangan pekerjaan, baik oleh
sector swasta maupun oleh
pemerintah, diharapkan angka
pengangguran yang relative
tinggi dinegara berkembang akan mengalami penurunan.
Strategi
Pembangunan Daerah
Masalah
pembangunan daerah dalam perspektif nasional yang utama adalah bagaimana
mengurangi kesenjangan antar wilayah.Implisit di dalamnya adalah pengertian
untuk membangun daerah-daerah yang masih relatif tertinggal.
Strategi
pembangunan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah pada dasarnya diarahkan
untuk (1) mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah potensial di luar Jawa-Bali dan
Sumatera dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa-Bali dan
Sumatera; (2) meningkatkan keterkaitan antarwilayah melalui peningkatan
perdagangan antarpulau untuk mendukung perekonomian domestik; dan (3)
meningkatkan daya saing daerah melalui pengembangan sektor-sektor unggulan di
tiap wilayah, (4) Mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal, kawasan
strategis dan cepat tumbuh, kawasan perbatasan, kawasan terdepan, kawasan
terluar dan daerah rawan bencana; serta (5) Mendorong pengembangan wilayah laut
dan sektor-sektor kelautan.
Strategi dan
arah kebijakan pengembangan di tiap wilayah mengacu pada strategi dan arah
kebijakan yang berbasiskan perencanaan wilayah darat melalui Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan berbasiskan perencanaan wilayah laut melalui Arah
Pengembangan Wilayah Laut.
Selain itu,
sesuai dengan arahan Presiden RI, strategi pembangunan juga mengacu pada
paradigma Pembangunan untuk Semua (Development for All). Paradigma ini bertumpu
pada 6 (enam) strategi dan arah kebijakan, yaitu:
Pertama,
strategi pembangunan inklusif yang mengutamakan keadilan, keseimbangan dan
pemerataan. Semua pihak harus dan ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan
melalui penciptaan iklim kerja untuk meningkatkan harkat hidup keluar dari
kemiskinan. Seluruh kelompok masyarakat harus dapat merasakan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan terutama masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan,
kawasan perdesaan, daerah pedalaman, daerah tertinggal dan daerah pulau
terdepan.Selain itu, pertumbuhan ekonomi harus dapat mengurangi pengangguran
dan kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri; serta
Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kawasan Perbatasan, Pulau Terdepan
dan daerah pasca konflik dan pasca bencana merupakan program yang diarahkan
langsung untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif.
Kedua, strategi
pembangunan berdimensi kewilayahan. Strategi pembangunan wilayah
mempertimbangkan kondisi geografis, ketersediaan sumber daya alam, jaringan
infrastruktur, kekuatan sosial budaya dan kapasitas sumber daya manusia
menyebabkan yang tidak sama untuk setiap wilayah. Strategi pembangunan wilayah
juga memperhitungkan basis daratan dan basis kepulauan atau maritim sebagai
satu kesatuan ruang yang tidak terpisahkan. Oleh sebab itu, strategi
pembangunan berdimesni kewilayahan memperhatikan tata ruang wilayah Pulau
Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa
Tenggara, Kepulauan Maluku dan Pulau Papua. Dengan strategi ini, kebijakan
pembangunan diarahkan untuk mengoptimalkan potensi dan keunggulan daerah dan
membangun keterkaitan antarwilayah yang solid termasuk mempercepat pembangunan
pembangkit dan jaringan listrik, penyediaan air bersih, serta pengembangan
jaringan transportasi (darat, laut dan udara) dan jaringan komunikasi untuk
memperlancar arus barang dan jasa, penduduk, modal dan informasi antarwilayah.
Ketiga, strategi
pembangunan yang mendorong integrasi sosial dan ekonomi antarwilayah secara
baik.Dalam hal ini perhatian terhadap pengembangan pulau-pulau besar, kecil dan
terdepan harus dilakukan dengan memperhatikan poteni daerah sebagai modal dasar
yang dikelola secara terintegrasi dalam kerangka geoekonomi nasional yang solid
dan kuat. Dengan kesatuan ekonomi nasional yang kuat untuk lima tahun
mendatang, maka posisi tawar Indonesia dalam globalisasi percaturan
perekonomian dunia, secara geo-ekonomi berada pada posisi yang lebih kuat, dan
lebih berdaya saing. Kebijakan untuk memperkuat integrasi sosial dan ekonomi
antarwilayah diarahkan pada pengembangan pusat-pusat produksi dan pusat-pusat
perdagangan di seluruh wilayah terutama di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua.
Keempat,
strategi pengembangan ekonomi lokal.Pengembangan ekonomi lokal menjadi penting
dan mendesak sebagai upaya memperkuat daya saing perekonomian nasional.Para
gubernur, bupati dan walikota mempunyai kewenangan yang luas dan peran dominan
dalam pengembangan ekonomi lokal. Peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam
mendorong pembangunan daerah pada intinya mempunyai arah sebagai berikut: (1)
menciptakan suasana atau iklim usaha yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang; (2) meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kemajuan
ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar; (3)
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, dan menciptakan kebersamaan
dan kemitraan antara yang sudah maju dengan yang belum berkembang; (4)
memperkuat kerjasama antardaerah; dan (5) membentuk jaring ekonomi yang
berbasis pada kapasitas lokal dengan mengkaitkan peluang pasar yang ada di
tingkat lokal, regional dan internasional; (6) mendorong kegiatan ekonomi
bertumpu pada kelompok, termasuk pembangunan prasarana berbasis komunitas; dan
(7) memperkuat keterkaitan produksi-pemasaran dan jaringan kerja usaha
kecil-menengah dan besar yang mengutamakan keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif daerah.
Kelima, strategi
pembangunan disertai pemerataan (growth with equity) yang bertumpu pada
keserasaian pertumbuhan ekonomi (pro-growth) dalam menciptakan kesempatan kerja
(pro-jobs) dan mengurangi kemiskinan (pro-poor) yang tetap berdasarkan
kelestarian alam (pro-environment). Kebijakan pembangunan diarahkan untuk
memperkuat keterkaitan antarwilayah (domestic interconnectivity), membangun dan
memperkuat rantai industri hulu hilir produk unggulan berbasis sumber daya
lokal, mengembangkan pusat-pusat produksi dan perdagangan baik di Jawa-Bali
maupun di luar wilayah Jawa Bali yang didukung dengan penyediaan prasarana dan
sarana, peningkatan SDM, pusat-pusat penelitian, pembangkit listrik dan
penyediaan air bersih; serta perbaikan pelayanan sesuai standar pelayanan minimal.
Sejalan dengan arah kebijakan ini, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
merupakan salah satu dorong untuk menciptakan dan membangun pusat-pusat
pertumbuhan dan perdagangan di seluruh wilayah.
Keenam, strategi
pengembangan kualitas manusia. Orientasi pembangunan adalah peningkatan
kualitas manusia (the quality life of the people) sebagai bagian dari
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat terutama pangan,
pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sanitasi dan air bersih, perumahan,
sumber daya alam dan lingkungan, dan jaminan keamanan. Oleh sebab itu,
kebijakan pembangunan akan diarahkan pada peningkatan akses dan mutu layanan
dasar termasuk pangan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, sanitasi dan
air bersih, perumahan, sumber daya alam dan lingkungan, dan jaminan keamanan
terutama bagi masyarakat yang berada di daerah perdesaan, kawasan perbatasan,
pulau-pula terluar dan daerah pasca konflik dan pasca bencana. Dengan
meningkatnya kualitas manusia, kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat dan
membaik secara merata di seluruh wilayah.
Pengembangan Pulau-pulau Besar
Kebijakan
pengembangan wilayah diarahkan untuk mendorong percepatan pembangunan wilayah
Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dengan tetap mempertahankan
momentum pembangunan di Wilayah Jawa-Bali dan Sumatera.
Pembangunan
wilayah Sumatera diarahkan untuk menjadi pusat produksi dan industri pengolahan
hasil pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan; lumbung energi nasional,
pusat perdagangan dan pariwsata sehingga wilayah Sumatera menjadi salah satu
wilayah utama dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Pembangunan
wilayah Jawa-Bali diarahkan untuk tetap mempertahankan fungsi lumbung pangan
nasional, mengembangkan industri pengolahan secara terkendali dan memperkuat
interaksi perdagangan, serta meningkatkan mutu pelayanan jasa dan pariwisata
bertaraf internasional sebagai wilayah utama dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN,
dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kaidah pembangunan yang
berkelanjutan.
Pembangunan
wilayah Kalimantan diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah
perkebunan, peternakan, perikanan, dan pengolahan hasil hutan; serta
meningkatkan nilai tambah hasil pertambangan dan berfungsi sebagai lumbung
energi nasional dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kaidah
pembangunan yang berkelanjutan.
Pembangunan
wilayah Sulawesi diarahkan untuk menjadi salah satu lumbung pangan nasional
dengan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan perikanan; mengembangkan bioenergi; serta meningkatkan dan
memperluas perdagangan, jasa dan pariwisata bertaraf intenasional.
Pembangunan
wilayah Kepulauan Nusa Tenggara diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan
nilai tambah perkebunan, peternakan dan perikanan dengan memperhatikan
keterkaitan wilayah-wilayah pulau.
Pembangunan
wilayah Maluku diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah
perkebunan, peternakan dan perikanan dengan memperhatikan keterkaitan
wilayah-wilayah pulau.
Pembangunan
wilayah Papua diarahkan untuk untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia;
produktivitas dan nilai tambah perkebunan, peternakan dan perikanan dengan
memperhatikan keterkaitan wilayah-wilayah pulau.
Pembangunan
Wilayah Laut
Dengan mempertimbangkan
sektor unggulan dan potensi keterkaitan depan dan belakang dengan sektor-sektor
lain, wilayah laut yang dapat dikembangkan meliputi: (1) wilayah pengembangan
kelautan Sumatera, (2) wilayah pengembangan kelautan Malaka, (3) wilayah
pengembangan kelautan Sunda, (4) wilayah pengembangan kelautan Jawa, (5)
wilayah pengembangan kelautan Natuna, (6) wilayah pengembangan kelautan
Makassar-Buton, (7) wilayah pengembangan kelautan Banda-Maluku, (8) wilayah
pengembangan kelautan Sawu, dan (9) wilayah pengembangan kelautan
Papua-Sulawesi. Dari sepuluh wilayah pengembangan kelautan tersebut, dengan
memperhatikan fungsi strategisnya dalam penguatan keterkaitan antarwilayah maka
dipilih lima wilayah prioritas pengembangan untuk periode 2010-2014 yaitu Wilayah
Pengembangan Kelautan Sumatera, Malaka, Jawa, Makassar-Buton, dan Banda-Maluku.
Pengembangan
Kawasan Strategis, Daerah Tertinggal, Perbatasan, Pembangunan perkotaan,
Perdesaan, Pertanahan, Tata Ruang.
Dalam upaya
mendukung percepatan pembangunan wilayah, kebijakan pembangunan wilayah
diarahkan untuk: (1) pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh, (2)
pengembangan daerah tertinggal, kawasan perbatasan, dan rawan bencana, (3)
pengembangan kawasan perkotaan dan perdesaan, dan (4) penataan dan pengelolaan
pertanahan. Strategi yang diterapkan adalah:
1)
Mendorong percepatan pembangunan dan
pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh sehingga dapat
mengembangkan daerah-daerah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah
pengembangan ekonomi yang sinergis dengan mengutamakan keterkaitan mata-rantai
proses industri dan distribusi.
2)
Meningkatkan pengembangan daerah-daerah
tertinggal dan terpencil agar dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat
dan dapat mengurangi ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain.
3)
Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan
dengan mengutamakan kebijakan pembangunan yang berorientasi ke luar sehingga
menjadi pintu gerbang dalam hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara
tetangga.
4)
Menyeimbangkan pertumbuhan pembangunan
kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil dengan mengacu pada sistem
pembangunan perkotaan nasional dengan tujuan mencegah terjadinya pertumbuhan
fisik kota yang tidak terkendali seperti yang terjadi di wilayah pantani utara
Jawa, serta mengendalikan arus migrasi masuk langsung dari desa ke kota-kota
besar dan metropolitan melalui penciptaan kesempatan kerja, termasuk peluang
usaha, di kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa.
5)
Mempercepat pembangunan kota-kota kecil
dan menengah terutama di luar Pulau Jawa agar dapat berfungsi sebagai pusat
layanan bagi masyarakat kota tersebut dan sebagai motor penggerak pembangunan
wilayah-wilayah di sekitarnya.
6)
Mendorong keterkaitan ekonomi wilayah
perkotaan dan perdesaan dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi.
7)
Menerapkan sistem pengelolaan pertanahan
yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas
tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi.
8)
Mendorong perencanaan wilayah yang
peduli/peka terhadap bencana alam terutama dengan mempertimbangkan kondisi
geografis Indonesia yang berada di wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik yang
rawan bencana alam.
Perkembangan
Strategi Dan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia
A.
Macam – Macam Strategi Pembangunan Indonesia
Salah satu konsep penting yang perlu
diperhatikan dalam mempelajari perekonomian suatu negara adalah mengetahui
tentang strategi pembangunan ekonomi. Beberapa strategi pembangunan ekonomi
yang dapat disampaikan adalah :
1.
Strategi Pertumbuhan
Adapun inti dari konsep strategi yang
pertama ini adalah :
a.
Strategi pembangunan ekonomi suatu
negara akan terpusat pada upaya pembentukan modal, serta bagaimana
menanamkannya secara seimbang, menyebar, terarah dan memusat, sehingga dapat
menimbulkan efek pertumbuhan ekonomi.
b.
Selanjutnya bahwa pertumbuhan ekonomi
akan dinikmati oleh golongan lemah melalui proses merambat ke bawah ( trickle –
down – effect ) pendistribusian kembali.
c.
Jika terjadi ketimpangan atau ketidakmerataan
hal tersebut merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi.
d.
Kritik paling keras dari strategi yang
pertama ini adalah bahwa pada kenyataan yang terjadi adalah ketimpangan yang
semakin tajam.
2.
Strategi pembangunan dengan pemerataan
Inti dari konsep
strategi ini adalah dengan ditekankannya peningkatan pembangunan melalui teknik
sosial engineering, seperti halnya melalui penyusunan perencanaan induk, dan
paket program terpadu.
3.
Strategi ketergantungan
Tidak sempurnanya konsep strategi pertama
dan kedua mendorong para ahli ekonomi mencari alternatif lain sehingga pada
tahun 1965 muncul strategi pembangunan dengan nama strategi ketergantungan.
Inti dari konsep strategi tergantungan adalah :
•
Kemiskinan di negara – negara berkembang
lebih disebabkan karena adanya ketergantungan negara tersebut dari pihak /
negara lainnya
•
Teori ketergantungan ini kemudian
dikritik oleh Kothari dengan mengatakan “Teori ketergantungan tersebut memang
cukup relevan namun sayangnya telah menjadi
semacam dalih terhadap kenyataan dari kurangnya usaha untuk membangun
masyarakat sendiri (Self Development)
4.
Strategi yang berwawasan ruang
Strategi ini
dikemukakan oleh Myrdall dan Hirschman, yang mengemukakan sebab – sebab kurang
mampunya daerah miskin berkembang secepat daerah yang lebih kaya / maju.
Menurut mereka
kurang mampunya daerah miskin berkembang secepat daerah maju dikarenakan
kemampuan / pengaruh menyetor dari kaya ke miskin (Spread Effects) lebih kecil
daripada terjadnya aliran sumber daya dari daerah miskin ke daerah kaya
(Back-wash-effects). Perbedaan pandangan kedua tokoh tersebut adalah, bahwa
Myrdall tidak percaya bahwa keseimbangan daerah kaya dan miskin akan tercapai,
sedangkan Hirschman percaya, sekalipun baru akan tercapai dalam jangka panjang.
5.
Strategi Pendekatan kebutuhan pokok
Sasaran dari
strategi ini adalah menanggulangi kemiskinan secara masal.Strategi ini
selanjutnya dikembangkan oleh Organisasi Perburuhan Sedunia (ILO) pada tahun
1975, dengan menekankan bahwa kebutuhan pokok manusia tidak mungkin dapat
dipenuhi jika pendapatan masih rendah akibat kemiskinan yang bersumber pada
pengangguran.Oleh karena itu sebaiknya usaha-usaha diarahkan pada penciptaan
lapangan kerja, peningkatan kebutuhan pokok dan sejenisnya.
STUDI KASUS
Studi kasus 1
Strategi
Pembangunan Pada Sektor Industri Pengolahan Hasil Pertanian Dan Hutan Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Tulungagung
Pemberlakuan
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang –
Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah menimbulkan dampak yaitu munculnya paradigma baru bahwa pembangunan
daerah menuju proses perubahan yang diarahkan kepada pemberdayaan rakyat.
Didasari hal
tersebut maka dilakukan penelitian tentang “ Strategi Pembangunan pada Sektor
Industri Pengolahan Hasil Pertanian dan Hutan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
di Kabupaten Tulungagung “ dengan rumusan masalah : (1) Bagaimana peranan
sektor industri pengolahan hasil pertanian dan hutan dalam menopang pelaksanaan
otonomi daerah di Kabupaten Tulungagung , dan (2) Bagaimana strategi
pengembangan sektor industri pengolahan hasil pertanian dan hutan dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Tulungagung. Analisis data yang
digunakan adalah dengan menggunakan analisa SWOT yaitu identifikasi berbgai
faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Analisa ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan ( strengths ) dan
peluang ( opportunities ), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
( weaknesses ) dan ancaman ( threats ).
Berdasarkan
analisis SWOT maka strategi yang digunakan adalah SO yaitu strategi yang
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk membuat dan memanfaatkan peluang
sebesar-besarnya. Setelah melalui proses analisis dan pembahasan terhadap
strategi pembangunan industri dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten
Tulungagung, maka diperoleh kesimpulan : (1) Peranan industri pengolahan hasil
pertanian dan hutan dalam menopang pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten
Tulungagung adalah mengembangkan strategi pembangunan industri pengolahan hasil
pertanian dan hutan dengan cara meningkatkan kualitas berbagai elemen dalam
mengembangkan unit usaha yang terdapat di Kabupaten Tulungagung , (2) Strategi
yang paling dominan berdasarkan matriks SWOT adalah strategi SO yaitu
memanfaatkan kekuatan yang ada untuk membuat dan memanfaatkan peluang yang
sebesar – besarnya dengan cara : (a) Memperbaiki kualitas SDM ( Sumber Daya
Manusia ) tenaga kerja pada industri pengolahan hasil pertanian dan hutan , (b)
Memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan kualitas produk industri
pengolahan hasil pertanian dan hutan , (c) Memanfaatkan informasi pasar untuk
memasarkan produk industri pengolahan hasil pertanian dan hutan , (d) Memfasilitasi
penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan hasil pertanian dan hutan.
Strategi-strategi
pembangunan daerah
·
Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal
a) Mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat desa
tertinggal yang lebih proaktif, dinamis dan partisipatif,upayayang
dilakukan adalah :
v Pendampingan oleh Fasilitator, memungkinkan warga masyarakat
mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang adapada diri mereka, maupun
mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada disekitarnya.Pendamping juga
biasanya membantu, membangun dan memperkuat jaringandan hubungan antara
komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yanglebih luas. Para
pendamping masyarakat harus memiliki pengetahuan dan kemampuanmengenai
bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakatlokal,
maupun bagaimana mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam
kontekslembaga-lembaga sosial yang lebih luas.
v Melakukan
koordinasi secara intensif tentang Program Pemberdayaan Masyarakat pada setiap
jenjang Pemerintahan yaitu Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan
Desa untuk menyelaraskan kebijakan, strategi dan upaya-upaya percepatan
pembangunan daerah tertinggal dalam rangka pemantapan ketahanan nasional.
Koordinasi pelaksanaan Program PNPM-Mandiri Perdesaan yang telah berlangsung
dengan baik dapat terus dipertahankan dan menjadi contoh bagi program-program
pemberdayaan masyarakat lainnya di desa-desa tertinggal.
v Meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat tertinggal baik melalui pendidikan dan
pelatihan formal maupun non formal, dengan tujuan untuk meningkatkan
pengetahuan pemberdayaan kelembagaan masyarakat, pengetahuan pembangunan,
maupun pengetahuan dan keterampilan dalam berusaha.Peningkatan pengetahuan
masyarakat dilakukan mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini melalui
pemberdayaan masyarakat di setiap desa, pemerataan pembangunan sarana sekolah
lanjutan pertama di desa dan sekolah menengah umum dan kejuruan di setiap
kecamatan sampai pada jenjang perguruan tinggi, pemberian fasilitas beasiswa
bagi peserta didik agar terus ditingkatkan supaya anak desa tertinggal dapat
mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Tenaga pendidik di desa
tertinggal juga harus lebih baik dan sama dengan kualitas tenaga pendidik yang
berada di sekolah-sekolah perkotaan. Fasilitas sekolah di desa yang lengkap
dengan laboratorium dan perpustakaan sangat memungkinkan mempercepat kemajuan
bidang pendidikan di desa-desa tertinggal.
v Menyediakan
pendanaan yang cukup, baik dari pemerintahan maupun dunia usaha. Hal ini
diperlukan dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan dana stimulan dan insentif
bagi pelaksana pembangunan daerah tertinggal, agar dapat lebih meningkatkan
gairah dan motivasidalam pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat
tertinggal.
v Pemberdayaan
masyarakat melalui kemitraan usaha dari BUMN/BUMD baik dalam pemberian bantuan
teknis usaha maupun dalam pemberian bantuan permodalan dengan beban tidak
memberatkan masyarakat. Bantuan permodalan yang diberikan baik
menggunakan dana keuntungan usaha maupun dana Corporate Social
Responsibility-CSR, serta kemitraan usaha lainnnya seperti pemberian
pinjaman modal dari BUMN/BUMD kepada para pengrajin industri kecil dari bagian
keuntungan perusahaan sebagai kewajiban mereka untuk membantu masyarakat desa
tertinggal.
v Menyediakan
sarana informasi dan komunikasi yang tepat agar setiap proses dan keberhasilan
pembangunan daerahtertinggal melalui pemberdayaan masyarakat dapat dilihat,
dipahami, diketahui bahkan dicontoh oleh masyarakat lainnya. Penyediaan
informasi ini dapat berupa brossur, leflet, buku, papan informasi, radio,
televisi, internet dan lainnya. Sarana informasi dan komunikasi juga diperlukan
masyarakat untuk mendapat pengetahuan, informasi dan teknologi yang mugkin
dapat diterapkan di desa tertinggal. Media sarana informasi seperti InternetMobile
sangat cocok disediakan pada desa-desa terpencil dan tertinggal yang belum
memiliki fasilitas internet (warnet). Sudah saatnya Program Internet
Masuk Desadigalakkan oleh pemerintah termasuk desa-desa tertinggal
yang dikelola melalui pemberdayaan masyarakat desa tertinggal.
b) Mendorong pemberdayaan perekonomian
masyarakat desa tertinggal agar lebih berdaya, mandiri,
memiliki kemampuan penguasaan teknologi dan pemasaran hasil, Upaya
yang dapat dilakukan adalah :
v
Melakukan kerjasama yang intensif dengan
perguruan tinggi, lembaga penelitian, dunia usaha, perbankan, koperasi dan
pihak lembaga jasa keuangan (Perusahaan Lessing) lainnya untuk mempermudah
masyarakat di desa tertinggal dalam mengakses permodalan, teknologi, dan
pemasaran hasil produksi perekonomian masyarakat tertinggal.
v
Memberikan bantuan stimulan beberapa
komoditas perekonomian kepada masyarakat desa tertinggal, berupa pemberian
Bantuan secara gratis Benih Padi, bibit karet, bibit kelapa sawit, bibit
ternak, bibit ikan disesuaikan dengan potensi alam yang ada di desa tertinggal
masing-masing, begitu juga bantuan sarana-prasarana pendukungnya yakni pupuk,
pestisida, peralatan dan mesin, dan fasilitas pasar desa.
v
Pendampingan oleh petugas pendamping,
fasilitator dan Petugas Penyuluh Pertanian secara rutin dalam upaya membimbing
masyarakat tani, peternak dan nelayan untuk meningkatkan usaha perekonomiannya
di desa-desa tertinggal sampai pada pemasaran hasil.
v
Peningkatan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat tani-nelayan di desa tertinggal melalui kegiatan Bimbingan Teknis
baik dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat maupun oleh Perguruan
Tinggi, Lembaga Penelitian dan Perusahaan Besar yang berada di sekitar desa
tertinggal.
v
Menyediakan fasilitas pemasaran seperti
pasar hewan, pasar desa dan pasar kecamatan yang letaknya mudah dijangkau dari
desa-desa tertinggal.
v
Menyediakan fasilitas skim kredit khusus
untuk masyarakat desa tertinggal dengan persyaratan yang ringan, adanya
penjaminan dan proses yang mudah dan cepat bagi masyarakat untuk
mendapatkannya.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah pemberdayaan pemilikan faktor-faktor produksi, pemberdayaan penguasaan distribusi dan pemasaran, pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan pemberdayaan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan pada beberapa aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, mapun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal dan problem spesifik.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah pemberdayaan pemilikan faktor-faktor produksi, pemberdayaan penguasaan distribusi dan pemasaran, pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan pemberdayaan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan pada beberapa aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, mapun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal dan problem spesifik.
Salah satu
masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa tertinggal adalah dalam hal akses
untuk memperoleh modal. Dalam pasar uang, masyarakat perdesaan baik yang
petani, buruh, pengusaha mikro, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah, terus
didorong untuk meningkatkan tabungan. Tetapi ketika mereka membutuhkan modal,
mereka diperlakukan diskriminatif oleh lembaga keuangan. Sehingga yang terjadi
adalah aliran modal dari masyarakat lemah ke masyarakat yang kuat. Lembaga keuangan
atas posisinya sebagai perantara, maka di dalamnya berbagi resiko dengan nasabah
peminjam, memberikan informasi kepada peminjam, dan menyediakan
likuiditas. Kenyataan yang terjadi, kepada masyarakat lemah dan pengusaha
kecil, perlakukan atas ketiga hal tersebut juga diskriminatif. Dan atas
perlakuan yang tidak adil itu, masyarakat tidak memiliki kekuatan tawar menawar
dengan pihak lembaga kuangan. Karena itu pemberdayaan masyarakat desa
tertinggal juga diikuti dengan kemudahan mereka untuk mendapatkan akses modal
dari perbankan. Penanganan kendala modal, kendala distribusi, dan kendala
tanah tidakseluruhnya dapat dilakukan melalui upaya ekonomi semata. Karena
banyakdimensi-dimensi politik yang harus ditangani. Oleh sebab itu,
pemberdayaan perekonomian masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa kebijakan
politik.
c) Mendorong pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan infrastruktur wilayah di desa tertinggal,upaya yang
dapat dilakukan adalah :
v
Melakukan kerjasama pembangunan dengan
pihak swasta yang memiliki kemampuan finansial dan fasilitas yang cukup guna
melakukan pembangunan infrastruktur ke kawasan desa-desa tertinggal. Pola
yangdikembangkan adalah pola saling menguntungkan, serta dengan melibatkan
masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Kerjasama ini dapat dilakukan
dengan pemberian insentif kemudahan berinvestasi bagi usaha mereka yang
terletak disekitar desa-desa tertinggal tersebut, seperti Perkebunan,
Pertanian, Peternakan, Pabrik Industri dan lain-lain.
v
Menyediakan pendanaan pembangunan infrastruktur
jalan dan jembatan di desa tertinggal secara terpadu antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah; Kebutuhan dana Pembangunan infrastruktur jalan dan
jembatan sangat besar, karena itu perlu dukungan terpadu dengan pemerintah
pusat dan provinsi dalam membangun jalan dan jembatan ke desa-desa
tertinggal. Desa tertinggal dan terisolir umumnya berada didaerah
perairan yang berawa-rawa, berbukit dan pegunungan sehingga untuk membangun
sarana jalan dan jembatan memerlukan dana yang sangat besar dan sangat
membebani APBD Kabupaten tertinggal, karena itu diperlukan keterpaduan
pendanaan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten tertinggal.
v
Mengikutsertakan dan memberdayakan
masyarakat mulai dari tahap perencanaan dan persiapan melalui musyawarah
perencanan pembangunan desa dan kecamatan, dan pelaksanaan pembangunan
secara padat karya atau menggunakan tenaga kerja lokal setempat agar masyarakat
mempunyai rasa memiliki pada hasil pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan
tersebut, sehingga mereka dapat ikut membantu dalam pemanfaatan dan
pemeliharaannya. Dengan demikian maka sarana jalan dan jembatan yang dibangun
akan dapat bertahan lama dan dapat terpelihara dengan baik.
v
Memberdayakan kelembagaan masyarakat di
desa tertinggal dalam proses pembangunan infrastruktur baik manajemen,
pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaan. Pelaksanaan pekerjaan dapat
dilakukan dengan cara padat karya atau system upah kepada kelompok kerja
masyarakat desa itu sendiri.
v
Menyediakan infrastruktur lainnya seperti
Sarana Pendidikan mulai dari PAUD, SD/MI, SMP/MTs sampai SMA/SMK/MA yang mudah
dijangkau masyarakat desa tertinggal yang dilengkapi dengan keberadaan tenaga
pendidik yang profesional, Sarana Kesehatan berupa Poskesdes atau Pustu di desa
dilengkapi dengan sarana peralatan medis dan obat yang lengkap serta tenaga
medis (Bidan dan Perawat) yang professional, Sarana Air Bersih berikut sanitasi
lingkungan, saluran drainase untuk mengantisipasi terjadinya banjir, dan sarana
irigasi desa pada desa-desa potensi pertanian.
·
Strategi peningkatan daya saing
Salah
satu strategi yang cukup jitu tetapi kurang diterapkan di daerah adalah
menerapkan strategi peningkatan “daya saing”. Di dalam ilmu ekonomi bisnis,
konsep daya saing ini menunjukkan posisi strategis dari suatu perusahaan bila
dibandingkan dengan perusahaan lain yang memiliki pasaran (pelanggan atau
pembeli) yang sama. Perusahaan sering saling bersaing memperebutkan pasaran
dengan menggunakan kiat-kiat atau strategi tertentu. Agar memiliki daya saing
tersebut, Michael Porter (1985) memberikan saran untuk memilih salah satu dari
tiga strategi berikut yaitu strategi cost leadership, differentiation,
dan focus (secara umum semuanya dikenal dengan nama competitive
strategy). Strategi pertamalebih memusatkan perhatian untuk merebut
pasaran dengan harga murah melalui pengurangan biaya produksi; strategi
keduamemanfaatkan kekhasan model atau kualitas terbaik yang tidak terdapat pada
perusahaan lain sehingga menarik pembeli atau pasaran; dan strategi
ketigamemusatkan perhatian pada segmen pasar tertentu dengan menggunakan
kombinasi dari strategi pertama dan kedua. Ide ini mendapatkan kritikan karena
hanya menggunakan sisi supply-side (Dobson, Starkey dan Richards, 2004),
perlu diakomodasikan untuk membantu mempercepat pembangunan daerah tertinggal
di Indonesia. Porter berbicara dalam konteks bisnis dan lebih pada konteks
mencari keuntungan bisnis, namun pemikiran Porter ini sangat menarik untuk
dimanfaatkan mencari “keuntungan publik” yaitu dalam rangka memperbaiki
kesejahteraan masyarakat di daerah. Pemikiran Porter ini diterjemahkan kedalam
strategi menekan biaya, meningkatkan kualitas produk dan jasa, dan
mempertahankan segmen pasar yang sudah ada. Dalam pemikiran ini, diasumsikan
bahwa suatu Kabupaten tertinggal harus aktif dan proaktif, sementara Kabupaten
lain bersifat pasif dan tidak diperhitungkan sebagai kekuatan yang menentukan
daya saing tersebut. Karena itu, kerjasama antar daerah (Agranoff, 1966) harus
diperhitungkan sebagai alternatif kekuatan dalam membantu meningkatkan daya
saing. Meski banyak menuai kritik, kerjasama antar daerah telah memberikan
banyak manfaat bagi pemerintah daerah yang berkolaborasi seperti penekanan
biaya, yang merupakan salah satu strategi yang diusulkan Porter.
a) Strategi
Menekan Biaya
Indonesia memang
diakui sebagai negara yang kaya sumberdaya alam. Banyak daerah yang kaya belum
tersentuh, dan kalau sudah tersentuh belum semuanya dieksploitasi. Wilayah
Timur Indonesia dan sebagian di wilayah Barat Indonesia belum dieksploitasi
sumberdayanya. Di samping keterbatasan anggaran, Indonesia menghadapi hambatan
fisik yang luar biasa besar karena terdiri dari ribuan pulau, dan banyak yang
sulit dijangkau. Akibatnya banyak daerah menjadi tertinggal dan miskin. Harga
bahan pokok melonjak tinggi karena biaya transport yang mahal. Akses ke sekolah,
ke pusat pelayanan kesehatan dan kegiatan ekonomi (industri, perdagangan dan
jasa) relatif sulit, seperti dialami daerah pegunungan dan pedalaman di
Kalimantan Tengah, Papua, dan sebagian di Sulawesi dan Sumatera, dan daerah
kepulauan di wilayah Maluku, Sulawesi Tenggara, NTT, dan Kepulauan Riau.
Jangkauan ke pasar menjadi sulit, sementara input berupa bahan produksi (raw
materials) sulit diperoleh, dan kalau ada sangat mahal.
Dalam posisi
seperti ini, strategi yang tepat adalah meningkatkan aksesibilitas dan
mengendalikan harga melalui regulasi, investasi jangka panjang, dan subsidi
harga. Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan jelas membantu mengurangi
biaya produksi sekaligus biaya hidup. Tentu rugi dilihat dari kacamata bisnis,
tetapi kalau dilihat dari segi prospek jangka panjang dan kohesi sosial
politik, investasi untuk menekan biaya ini sangat tinggi nilainya. Yang jelas,
menekan biaya produksi dan biaya hidup melalui program subsidi pasti membantu
banyak kabupaten untuk keluar dari posisi ketertinggalannya.
b) Strategi
Meningkatkan Kualitas Produk dan Jasa
Harus diakui
bahwa Indonesia memiliki banyak kekhasan produk daerah hasil seperti kelapa
sawit, cengkeh, pala, jagung, kopi, juga hasil laut seperti ikan,
udang,lobster, rumput laut, dsb., dan kerajinan daerah seperti kaint tenun,
batik, dsb., termasuk di sektor pariwisata dan jasa pelayanan publik (pelayanan
perijinan dan jaminan keamanan). Banyak hasil perkebunan, pertanian, perikanan,
dan jasa pemerintah/publik, kalah kualitasnya bila dibandingkan dengan yang
berasal dari negara lain, atau daerah lain. Karenanya permintaan menurun, dan
usaha menjadi bangkrut. Hasil laut, misalnya, tidak laku dijual karena rendah
kualitasnya lantaran tidak disimpan dalam peti es, atau karena mengandung logam
berat sehingga tidak laku. Dalam konteks jasa seperti pelayanan perijinan
seringkali makan waktu lama, berbelit-belit, tidak ada kepastian dan mahal,
membuat investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah.
Strategi
menerapkan teknologi yang lebih inovatif dan unggul tentu akan sangat membantu
meningkatkan kualitas produk yang selanjutnya dapat merebut pasaran. Demikian
pula strategi melakukan reformasi pelayanan publik akan mendorong investasi di
kabupaten tertinggal. Dengan memperbaiki kualitas produk dan jasa pelayanan
publik termasuk jaminan keamanan, maka daya saing kabupaten tertinggal akan
meningkat, menyamai kedudukan kabupaten yang tidak tertinggal.
c) Strategi
Mempertahankan Segmen Pasar Yang Sudah Ada
Kelanggengan
dari hubungan produsen-konsumen sering tidak langgeng. Strategi fokus pada
segmen pasar tertentu sebagaimana diungkapkan Porter, kurang diperhatikan.
Kabupaten yang menjual komoditas tertentu ke daerah tertentu seringkali tidak
berupaya memeliharanya sebagai pelanggan atau pembeli tetap. Karena itu, banyak
produksi komoditas yang tidak langgeng. Tentu saja, dalam mempertahankan segmen
pasar tersebut, suatu kabupaten dapat menerapkan kedua strategi sebelumnya.
Misalnya, untuk mempertahankan pasar dengan daerah atau negara tertentu,
Kabupaten tertinggal dapat menerapkan strategi differensiasi, atau juga menekan
biaya. Hubungan pasar yang telah lama berlangsung, harus didasari atas hubungan
kemitraan dan fair trade agar kedua belah pihak sama-sama mengambil
manfaat dari hubungan ekonomi tersebut, dan bertekad memperpanjang hubungan
yang saling menguntungkan tersebut
d) Strategi
Kerjasama Antar Daerah
Dalam kenyataan,
ada kabupaten tertinggal yang secara fisik masih homogen dengan kabupaten lain
baik yang tertinggal maupun tidak tertinggal, dalam arti memiliki iklim yang
sama dan sumberdaya yang sama sehingga memproduksi komoditas yang sama. Dalam
konteks ekonomi regional, daerah-daerah ini sebaiknya bekerjasama untuk
melayani pasaran yang sama dan memberikan pelayanan publik tertentu agar
sama-sama mendapatkan manfaat dari pada bersaing dan mengakibatkan kerugian di
salah satu pihak. Misalnya di beberapa kabupaten tertinggal diadakan kerjasama
memproduksi jagung, ikan, dan sebagainya, atau sama-sama menangani pelayanan
yang sama di bawah satu atap.
Kerjasama antar
Pemerintah Daerah (Agranoff, 1996) adalah suatu bentuk pengaturan kerjasama
yang dilakukan antar pemerintahan daerah dalam bidang-bidang yang disepakati
untuk mencapai nilai efisiensi dan kualitas pelayanan yang lebih baik. Kerjasama
(cooperation) antara pemerintah daerah telah lama dikenal dan dirasakan
manfaatnya sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan (Rosen, 1993).
Kerjasama ini telah dikenal sebagai cara yang jitu untuk mengambil manfaat dari
ekonomi skala (economies of scales). Pembelanjaan atau pembelian
bersama, misalnya, telah membuktikan keuntungan tersebut, dimana pembelian
dalam skala besar atau melebihi “threshold points”, akan lebih
menguntungkan dari pada dalam skala kecil. Dengan kerjasama tersebut biaya overhead
(overhead cost) akan teratasi meskipun dalam skala yang kecil. Sharing
dalam investasi, misalnya, akan memberikan hasil akhir yang lebih memuaskan
seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan, serta pengangkatan spesialis
dan administrator.
Kerjasama juga
dapat meningkatkan kualitas pelayanan, misalnya dalam pemberian atau pengadaan
fasilitas, dimana masing-masing pihak tidak dapat membelinya sendiri. Dengan
kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat dibeli dan dinikmati bersama,
seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb. Bentuk dan
metode kerjasama antar Pemerintah Daerah meliputi (1) intergovernmental
service contract; (2) joint service agreement, dan (3) intergovernmental
service transfer (Henry, 1995). Jenis kerjasama yang pertama dilakukan bila
suatu daerah membayar daerah yang lain untuk melaksanakan jenis pelayanan
tertentu seperti penjara, pembuangan sampah, kontrol hewan atau ternak,
penaksiran pajak. Jenis kerjasama yang kedua biasanya dilakukan untuk
menjalankan fungsi perencanaan, anggaran dan pemberian pelayanan tertentu
kepada masyarakat daerah yang terlibat, misalnya dalam pengaturan perpustakaan
wilayah, komunikasi antar polisi dan pemadam kebakaran, kontrol kebakaran,
pembuangan sampah. Dan jenis kerjasama ketiga merupakan transfer permanen suatu
tanggung jawab dari satu daerah ke daerah lain seperti bidang pekerjaan umum,
prasarana dan sarana, kesehatan dan kesejahteraan, pemerintahan dan keuangan
publik.
KESIMPULAN
Pembangunan
daerah pada dasarnya adalah pembangunan diberbagai sektor yang luas baik
pembangunan pedesaan, pertanian, industri, perdagangan, infrastruktur dan
sebagainya.Dengan menggunakan strategi yang sesuai dengan daerah yang
dibutuhkan.Sehingga pembangunan yang dilakukan pun terlaksana dengan efektif
dan efisien.Dibutuhkan dari berbagai sektor seperti SDM, SDA, Teknologi dan
Modal yang cukup untuk menunjag pembangunan daerah yang terstruktur dengan
rapi.
Agustina, M. 1996. Fungsi Kota Sedang
dalam Pembangunan Wilayah Studi Kasus Kota Kudus dan Kota Klaten Propinsi Dati
I Jawa Tengah. Skripsi.Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.
Glasson, J. 1977. Pengantar
Perencanaan Regional. Diterjemahkan :Paul Sitohang. LPFEUI. Jakarta.
Nuryati,
eli. 1992. Peranan dan Fungsi Pusat-Pusat Pertumbuhan dan Pelayanandalam
Rangka Pengembangan Wilayah (Studi Kasus Kabupaten DT IITangerang). Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.
4 Gunawan.
2000. Analisis Pembangunan Ekonomi Lokal Studi Kasus KabupatenTasikmalaya.
Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.
5. Abiyoso,
Hengki. 1994. Pembangunan Metropolis dan Kota Baru KawasanTimur Indonesia,
Mencari Dimensi Baru Transmigrasi, Kesempatan Kerjadan Pembangunan Desa di
Indonesia. Pusat Studi Pembangunan WilayahCENREDS (Center for Regional
Development Studies).
6. Rugesty,
Yelda. 1999. Peranan BAPPEDA Tingkat I dalam PerencanaanPembangunan Daerah
(Studi Kasus pada Bappeda Tingkat I PropinsiSumatra Barat). Skripsi.
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. IPB. Bogor.
7.
Hanafiah, T. 1988a. Pendekatan
Wilayah dan Pembangunan Pedesaan. JurusanSosial Ekonomi Pertanian. IPB.
Bogor.
8.
Porter, Michael. 1985. Competitive
Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance. New York: Free
Press
9.
Dobson Paul, Ken Starkey, John Richards.
2004. Strategic Management: Issues and Cases. Oxford: Blackwell Publishing
1 Agranoff.R.
1996. Managing Intergovernmental Porcesses. Dalam Handbook of Public
Administration. Perry, J.L. Ed. San Fransisco: Jossey-Bass. Hal. 210-231.
1 Rosen,
E.D. 1993. Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice. London:
Sage Publications, International Educational and Professional Publisher
Perekonomian
Indonesia, Drs. Dumairy, M.A, Erlangga 1996, Jakarta
Perekonomian
Indonesia, Dr Tulus T. H Tambunan, Ghalia Indonesia, jakrta 2003
No comments:
Post a Comment